Kutundukan pandanganku dalam-dalam seakan ingin kumasuki pori-pori lantai ruang tengah itu. Begitu ramai suara yang berisik di dalam benakku. Ada penyesalan, ketakutan, keresahan, kegetiran, kegelisaan, juga kebingungan, semua tertumpuk dan diaduk-aduk menjadi satu. Mungkin kalo Gado-gado masih enak rasanya, tapi ini perasaan yang bergemuruh di hatiku yang tak kunjung mau berhenti. Akh.....dasar bodohnya aku ini..sesalku dalam diam.
“Fiitt... ada apa nak? Kamu kelihatan lagi mikir sesuatu ya? Ayoo cerita sama ibu siapa tahu ibu bisa bantu” suara ibu yang lembut sedikit melonggarkan urat syarafku. Ku coba tersenyum lalu kurebahkan tubuhku di sofa dengan kepala kujatuhkan di pangkuan ibu. Dengan penuh sayang ibu membelai rambutku.
“Kenapa..? kamu enggak seperti biasanya. Kok enggak bisa tersenyum sih.” ibu mencoba mengulangi untuk mencari tahu keresahanku.
“Saya sedih bu..”
“Pasti ada masalah. Masalah apa yang membuat kamu sedih begitu?”
“Saya tadi kelepasan lagi bu.... Saya ini memang bodoh, gak bisa menahan diri. Malu saya sama diri sendiri. Bisanya ngomong gak bisa jalanin. Huuhhh....bodoh...bodoh...bodoh!!!” sesalku sambil memukul-mukul kakiku sendiri.
“Eee...kok gitu sih...Sudah-sudah. Emangnya kamu itu kelepasan apa sih? Jangan muter-muter gitu kalau cerita. Bikin ibu bingung.” sahut ibu sambil menahan tanganku.
“Fitri lho bu..tadi makan bangkai alias ngrasanin orang. Bener-bener kalau uda ngobrol enak banget bawaannya. Sampai berbusa bibirnya juga enggak terasa. Akh...pantes aja kenyang. Buntut-buntutnya baru nyadar kalau itu dosa. hmmm....mesti gitu dech.” keluhku dengan kesal
“Makanya jaga lisanmu nak... Jangan banyak bicara jika itu gak perlu, mending di hindari. Ibu saja kalau pulang ngaji, mesti jalan duluan pakai alasan keburu masak biar gak jalan sama-sama. Karena kalau sudah sama-sama teman itu memang bawaannya enak sekali ngomongin orang. Lagian ngomongin siapa sih, kamu kok sampai asyik gitu?”
“Wiss...lengkap dech bu, awalnya dari selebritis sampai akhirnya kemana-mana. Tapi tadi begitu sadar langsung sih..fitri berhenti enggak ikut nimbrung. Tapi kan masih sempat juga ikutan. Uda terlanjur kenyang.” sahutku sembari memonyongkan bibir.
“Yaa...semua itu kan bisa kamu buat pelajaran nak. Karena itu hati-hati kalau mau ikutan ngobrol sama teman, walaupun itu teman akrabmu. Sudah jangan terlalu difikirkan. Banyak istiqfar saja, yang penting jangan di ulangi. Semua kan masih belajar. Jadi mesti terus latihan. InsyaAllah, lama-lama nanti kan bisa.”
“Saya ingat satu riwayat yang pernah saya baca itu lho bu yang membuat saya jadi terus merasa bersalah.”
“Bagaimana? Coba kamu cerita sih, biar ibu ikut tahu ceritanya”
“Ceritanya, ada orang yang alim sedang menghadiri pemakaman seorang sahabatnya. Di tengah jalan dia bertemu dengan seorang pengemis. Si alim tadi berfikir dalam benaknya 'coba orang ini mau berusaha sedikit saja untuk dirinya, tentu dia tidak perlu menginakan dirinya menjadi seorang pengemis'. Lalu pada malam harinya saat si alim hendak melakukan wirid yang biasa dia lakukan, dia merasa berat sekali hingga akhirnya tertidur.” kuhentikan ceritaku sejenak. Lalu duduk bersandar sambil kuperhatikan ibu yang mulai mengupas buah jeruk kesukaannya..
“Terus bagiamana?” tanya ibu sambil melirik kearahku
“Terus, dalam tidurnya itu si alim bermimpi orang-orang membawa nampan yang diatasnya ada si pengemis tua itu. Lalu orang-orang tersebut mempersilahkan pada si alim untuk makan daging pengemis tersebut karena dia telah menghibah si pengemis itu.” Ibu langsung berhenti mengupas buah jeruk yang ada di tangannya. Beliau menatapku begitu dalam. Entah apa yang ada dalam benak beliau. Yang kutangkap beliau masih menunggu kelanjutan ceritaku.
“Begitu bangun si alim baru menyadari bahwa dia tadi menghibah si pengemis. Kemudian, keesokan harinya si alim mencari si pengemis tua untuk mencari ridhonya dengan meminta maaf. Hingga akhirnya si pengemis ditemukannya di tepi hutan sedang memunggut daun-daun kering. Belum sempat si alim berkata pengemis tua itu berkata 'apakah engkau akan mengulangi lagi perbuatan bodohmu itu wahai fulan'. Si alim pun merasa malu pada pengemis tua dan meminta maaf padanya.” kutarik nafas panjang untuk memengendorkan ketegangan yang kurasakan lalu kuteruskan lagi.
“ Bayangin bu....belum sempat dia ngomong sama orang lain. Masih terbesit dalam pikiran saja sudah digambarkan bahwa si alim sudah mengghibah. Lalu bagaimana dengan saya yang dengan asyiknya ngobrolin aib orang walaupun toh itu selebritis. Emangnya kalau ngomongin selebritis itu enggak apa-apa ? Selebritis kan juga manusia yang harus kita hargai apapun itu keadaannya bukan seenaknya kita obral aibnya. Itu kan sama saja dosanya seperti makan daging bangkai saudaranya sendiri. Lha wong makan bangkai saja lho kok seneng. Saya heran dengan diri saya sendiri.”
“ Waahhhh...kalau mengikuti seperti ceritamu tadi. Sulit sekali. Ibu sendiri juga sering mengalami hal itu nak. Bukan cuma kamu saja, lha ibu berarti juga banyak dosanya. Bagaimana ya caranya nak. Ibu jadi ikut bingung.” sahut ibu sambil mulai makan buah jeruk yang diletakan di atas mangkuk kecil di pangkuannya. Dan tanpa kuminta ibu suapi diriku dengan belahan jeruk kupasannya. Manis asam rasanya. Segar kemudian menyirami kerongkonganku.
“Itulah bu...yang membuat benak saya ramai saat ini. Memang sulit kalau kita fikirkan. Tapi kita kan gak boleh putus asa untuk mendapatkan pertolongan Allah bu. Yaa... semoga saja Allah memberi kemudahan bagi kita ya bu....semoga fitri enggak kecolongan lagi. Bismillah....ya Allah, semoga Engkau jaga hati, fikiran dan lisan kami ya Allah...” ocehku dalam tumpukan harap pdaNya.
“Aamieen....” ibu menjawab doaku
“Sebenarnya kalau di lihat itu intinya ada di fikiran kita ya bu..?” lanjutku
“Maksudmu bagiamana nak?”
“Ya...seperti cerita tadi, kan muncul di pikiran saja sudah dibilang mengghibah. Jadi kita mesti menjaga fikiran ini untuk tidak berfikir yang buruk-buruk dalam menilai orang. Lha sebelum sampai ke lisan kan awalnya dari pikiran kita.”
“Iyaa..kamu benar nak... kita mestinya enggak usah mikir yang aneh-aneh pada orang lain. Biarin juga orang mau ngapain atau apa saja. Yang penting kita menjaga diri kita sendiri ya...”
“Tapi.. kadang tanpa sadar kita melihat orang hitam gitu aja, kita dengan santai bilang di benak kita 'orang itu hitam sekali ya' . Itu kan juga enggak boleh ya..bu?”
“He em. Makanya daripada kita buat mikirin orang, uda...lebih baik kita sibukan diri kita dengan mikir dan mengingat Allah saja. Dan kita mesti banyak-banyak istiqfar nak...biar kesalahan kita diampuni Allah.”
“Asstaqfirullahal 'adhiim... ampuni dosa kami ya Allah....” sahutku sambil menyingkirkan mangkuk di pangkuan ibu dan kuganti dengan merebahkan kepalaku. Sempat kutangkap senyum ibu yang mengembang melihat ulah manjaku.
Ibu meraih remote lalu mengganti chanel televisi mencari acara yang enak untuk ditonton. Tapi semua cerita sudah penuh dengan sinetron percintaan remaja yang kurang sedap dipandang mata. Akhirnya chanel itu berhenti pada acara Mamamia Show yang seru.. kami hanyut dalam suasana meriah studio sarbini yang kami tangkap malam itu dari layar kaca ukuran 21' dalam rumah kami. Kemesraan seorang mama dan anak. Dan entah, apakah itu tulus ataukah hanya di buat-buat demi mendapat penilaian lebih oleh publik. Sedangkan kami tidak mau ketinggalan dengan kemesraan yang hangat di ruang tengah malam itu. Hmmm...hangatnya rebah dalam pangkuan ibu yang mengasihi dan menyayangi. Berkurang sudah berat di dada karena bisa bermanja di pangkuan seorang wanita tua yang menyayangi dan mencintai sebagai wujud cinta kasihNya. Akh...Alhamdulillah... terimakasih ya Allah..
******
Sumber: Cerpen Harian
Kamis, 23 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar