“Assalamu'alaikum......ibuu..” kusampaikan salam sembari memasukan motor ke ruang teras.
“Wa'alaikumsalam.....” ibu menjawab dengan melayangkan senyum padaku. Ibu meletakan selang dan mematikan kran air lalu menghampiriku yang sibuk menempatkan motor.
“Alhamdulillah...nak. Terimakasih ya... tadi pagi sudah matikan kompor. Ibu lho sampai deg-degan gak karuan.” sambung ibu sembari menerima salim cium tangan dariku.
“Ooo...tadi pagi itu. Iyaa.. Ibu berangkat keburu-buru kenapa sih? Sampai lupa belum matiin kompor.” sahutku.
Pagi ini memang sudah masuk tanggal ibu ambil uang pensiun. Dan tadi pagi berangkat lebih awal sebelum aku berangkat karena mbonceng sama Hera. Saat turun dari kamar aroma masakan menyapaku begitu akrab hingga mengundangku untuk menengok dapur. Ternyata kutemukan si kompor masih menyala dengan gagah untuk panasin sayur. Syukurlah aku mengetahuinya, hingga bisa langsung kumatikan. Tidak kebayang juga semisal akupun terlewatkan dan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dengan api kompor yang biasanya bersahabat, mungkin bisa berubah pikiran menjadi jahat. Mengobrak abrik isi rumah dengan lahap. Weehhh.....bisa seru nih.
“Kamu tahu nak?! Ibu ingat kompor masih nyala itu waktu ibu dalam angkot. Rasanya jantung ibu mau copot. Ibu langsung turun ganti angkot arah balik.” ibu menyambung cerita yang rupanya masih anget dalam benak beliau.
“Ibu kok gak coba telepon Fitri untuk nanyain? Kan bisa dari wartel kalo ibu pas lagi gak bawa Hp.”
“Ibu lupa nomor hpmu nak. Poko'nya...ibu khawatir bener. Ibu dzikir sepanjang jalan. Istiqfar.....atau baca apa aja. Ya Allah...ya Allah... tolong rumah saya ya Allah...! Sampai orang-orang di angkot tanya ibu kenapa. Yaa...ibu jelasin lagi ninggalin kompor menyala. Ibu juga minta tolong pak supirnya untuk jalan lebih cepat.” cerita ibu dengan jiwa yang penuh.
Kami mengambil duduk di kursi teras rumah. Kusimak cerita ibu sembari melepas sepatu dan alas kaki. Sesekali aku tersenyum melihat gaya ibu menceritakan serunya kejadian tadi pagi.
“Terus...?” pintaku yang tidak ingin ketinggalan alur cerita dalam penggalan seperti cerita-cerita sinetron di televisi.
“Begitu ibu sampai rumah langsung menuju dapur. Melihat kompor sudah mati, ibu langsung sujud syukur nak... ya Allah.... kaki ibu sampai gemeteran. Ibu takut gasnya meledak. Wahh...gak berani bayangin.”
“Hmm...Ck...ck..Ibu..ibu. Ya Allah...seru banget.” sahutku sambil nyengir sedikit menggoda ibu untuk mengkendorkan ketegangan yang telah terundang datang.
“Iya nak... lumayan lama ibu diam mengembalikan gelisanya hati ini. Kan sudah tua nak. Jadi kalau ada apa-apa gampang was-was.”
“Maaf bu, Kalau itu Fitri kurang setuju.”
“Lho!? Kan bener kalau sudah tua gampang kepikiran bikin hati was-was. Beda kalau masih muda. Kan masih kuat.”
Kuraih tangan ibu dan menggenggamnya erat-erat. Wajah ibu masih terlukis bias ketegangan dari cerita ulang kisah tadi pagi. Seolah-olah ibu mengulangi lagi perstiwa tadi pagi dengan detak jantung yang berpacu sedikit kencang. Mungkin karena terlalu semangat saat menceritakannya dan menjiwai. Sehingga saat ceritanya berlari, jantung turut berlari. Saat cerita bahagia, jantungpun berbunga. Apalagi kalau menceritakan hal yang mengharukan, pasti bawaannya terenyuh hingga tanpa dirasa air mata pun turut nimbrung.
“Bu...menurut Fitri, bukan dari tua mudanya. Kalau tua ato muda, itu yang membedakan hanya kekuatan Fisiknya saja yang lemah. Bukan kekuatan bathin atau jiwa. Semisal sama-sama mendapatkan masalah, jika yang tua jiwanya kuat dengan bersandar pada Allah, pasti dia kuat walau badannya ringkih. Sedangkan yang muda, kalau jiwanya lemah, tidak stabil maka gampang stres, putus asa, bisa jadi malah bunuh diri. Itu contoh dengan masalah yang sama dihadapi dua usia yang berbeda dengan kekuatan jiwa yang berbeda pula.” dengan nada yang pelan kucoba membuka pemahaman ibu.
Ibu tersenyum menanggalkan bias-bias ketegangan yang semula masih terlihat, kini mulai memudar digantikan bias ketenangan. Lalu kucoba meneruskan.
“Seperti tadi pagi, ibu mengetahui kompor belum mati. Ibu gelisa kan?. Padahal ibu juga berdzikir dengan membaca istiqfar dan yang lainnya. Padahal kalau dzikir itu kan mestinya hati ibu bisa tenang. Tapi ibu masih tegang terus.. berarti ada yang kurang beres dari dzikirnya.” kucoba memancing ibu untuk turut mengkoreksi.
“Iya..ya.? Mestinya kan tenang ya nak. Ibu masih belum bisa seperti itu. Ibu masih gampang resah dan was-was nak. Hmmm...bagaimana ya?”
“Dzikir itu kan mengingat Allah bu, dan ibu sudah mengingat Allah pada waktu itu. Tapi masalahnya ibu hanya mengingat namaNya saja.”
“Ibu bingung nak...? Maksudnya bagaimana?” tanya ibu dengan tatap harap untuk kuteruskan. Kini ibu yang mengenggam tanganku. Sesekali tanganku ditarik sebagai tanda ibu meminta aku meneruskan. Ibu memang paling senang kalau mendengar aku mengoceh masalah keimanan atau hal yang berbau agama. Beliau sangat memperhatikan dengan seksama. Kadang aku merasa risih sekaligus geli melihatnya.
“Begini... disaat kita ingat Allah dan menyebutnya, mestinya kita iringi dengan kepahaman kita akan sifat dan perbuatanNya. Ibu ingat Allah... lalu Allah yang bagaimana?! Bukankah Allah itu maha pengasih, maha memberi, maha kuasa, maha menenukan dan maha segala-galanya. Bukankah tidak ada satu hal sekecil apapun yang terjadi itu diluar kehendak dan kuasa Allah? Dan bukankah Allah selalu memberi yang terbaik buat kita?” jelasku yang kadang kelewatan cepat ngomongnya.
“Hmm...cepetnya kalau ngomong. Sini tak kasih cabe merah kaya' mbak Titik biar ngomongnya pelan-pelan. Hehehe... mulai ngerti sih... tapi kurang jelas nak.” sahut ibu dengan tersenyum lebar sambil membebaskan tanganku.
“Tadi ibu ingat Allah. Kan Allah maha mengabulkan do'a, dan ibu sudah berdoa minta tolong kan... Dan bukankah untuk hasilnya kita serahkan sama Allah. Hati mestinya digantungkan pada ALLAH. Ibu juga mestinya ingat, bahwa Allah itu Maha berkehendak. Jika Allah menghendaki rumah ini kebakar, meski ibu upaya bagaimana juga pasti kebakar. Meski ibu ada didalam rumah. Meski ibu terjaga. Pasti Allah buat jalan untuk bisa terbakar. Dan pasti bisa. Namun jika Allah menghendaki rumah ini tidak terbakar, meski ibu tinggalin dalam keadaan bagaimanapun juga, Allah tetap akan menjaganya dengan jalanNya juga. Allah yang mengatur segalanya bu. Dan apapun itu, pasti yang terbaik buat ibu menurut Allah. Itulah pemberian Allah. Nah.... mestinya hati ibu kan bisa tenang kalau semua yang terjadi itu yang terbaik buat ibu dari ALLAH. Gak usah gusar.” Jelasku panjang lebar. Kurasakan kerongkongan begitu kering seperti sedang menempuh jalan yang begitu panjang dan kelelahan.
“Jadi maksudmu ,tadi ibu gak usah balik pulang ya nak? Diserahin sama Allah. Gitu?”tanya ibu mencari lebih jelas dalam menentukan sikap.
“Lho...?! balik pulang itu kan ikhtiar ibu. Jadi ya ga pa-pa. Tapi kembalinya ibu kerumah mesti diiringi dengan hati yang tenang. Kaki tetap melangkah, hati tetap bersama Allah. Diserahin semuanya sama ALLAH. Masa' gak percaya sama ALLAH? Dan hati-hati dengan gelisah atau was-was. Karena Gelisah dan was-was itu salah satu pintunya setan lho bu. Nti pasti dikipasin ama setan. Buntutnya pikiran jadi ruwet dan berujung stress. Tuhh kan..!!” jawabku sambil beranjak berdiri yang diikuti oleh ibu. Kamipun masuk ke dalam rumah.
“Sebenarnya intinya cuman satu bu..” dengan mengambil air minum kucoba meneruskan.
“Apa nak?”
“Yakin bahwa yang terjadi itu Allah yang mengatur dan yakin bahwa Allah pasti memberi yang terbaik buat kita. Sudah kita yakini itu aja. Dan kita sambut setiap pemberian Allah dengan syukur. Beres deh. Hehehehe.... Fitri kaya' kepinteren aja ya bu? Maaf lho bu, Fitri gak bermaksud apa-apa. Sekedar mengingatkan, sekalian ngingetin diri sendiri juga.. Dan itu semua kan teori. Prakteknya emang gak gampang, kecuali mereka yang mendapat pertolongan Allah.. Fitri sendiri juga masih belajar. Ibu ingetin Fitri juga ya.... kalau pas Fitrinya mbleot... Semoga aja Allah memberi kekuatan dan senantiasa membimbing kita ya Bu... ”
“Amien......Ibu itu lho tambah seneng kalau ada yang mengingatkan. Ibu jadi bisa ngerti. Alhamdulillah...Allah sudah kirim Fitri untuk nemenin ibu. Ibu sangat seneng sekali. Bisa nambah keimanan ibu. Kamu jangan jauh-jauh dari ibu ya nak....” kaca-kaca bening di bola mata ibu berkilatan memancarkan haru yang menyembul dari rasa syukur beliau. Sekali lagi beliau meraih tanganku dalam senyum penuh rasa yang aku sulit mengartikan. Haru, bahagia, syukur, sedih, dan kilatan-kilatan rasa lainnya membuat hatiku turut bergidik.
“Akh....jangan berlebihan begitu bu... gak baik. Fitri kan cuman Fitri. Yang suka ngerepotin ibu. Suka godain ibu. Manjanya minta ampun. Masih minta dulang lagi.” ocehku dengan memonyongkan bibir sambil melipat-lipat ujung baju tertunduk malu-malu mencoba buat ibu tertawa melepaskan ikatan rasa.
“Hahahahaha......” tawa kami akhirnya semburat memenuhi ruang tengah dengan aneka warna-warni rasa hati kami.
Kuteguk air dalam gelas yang berada dalam genggamanku. Air mengalir membasahi kerongkongan yang begitu kering. Hawa sejuk menyusuri tubuhku. Oo...Tuhan, inikah sebagian nikmat yang telah Engkau berikan atas diriku yang lemah dan tak bedaya?? Diri yang masih banyak dalam kebodohan dan kelalaian. Ya Allah.... Ampuni dosa hamba Dan Terimaksih atas nikmatMu...terimakasih.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar