Selasa, 04 Desember 2007

Hatiku Sewot


Selepas sholat shubuh, berhamburan jamaah satu persatu meninggalkan masjid. Semalaman aku berdiam di masjid ini bersama yang lainnya. Demi mengikuti rangkaian acara pendekatan diri pada Sang Khaliq, kami tinggalkan kasur empuk milik kami yang merengek – rengek memanggil. Tapi kami hanya tersenyum memandanginya.

Lumayan banyak yang ikut baik dari kalangan wanita ataupun laki-lakinya. Berjubah lebar pakaian yang digunakan sebagian besar wanitanya sebagaimana mestinya muslimah berbusana. Terlihat nuansa islami dengan saling bersalam-salaman dan menempelkan kedua pipi bentuk keakraban diantara kami. Sedangkan yang pria pun tidak kalah dengan baju gamisnya yang membuat sejuk di pandangan mata.

Tampak sebagian yang datang berkelompok membuat lingkaran tersendiri dan membaca Kitab Suci dengan saling menyimak. Kami semalaman tenggelam dalam khusyuknya beribadah demi mencari Ridho dan Cinta dari yang Maha Cinta. Berbagai sholat sunnah kami dirikan secara berjamaah. Hanyut dalam lantunan doa. Merangkai ranting-ranting keyakinan dan kepasrahan tuk kuatkan rasa Cinta pada Sang Kekasih yang Hakiki. Hingga malampun berganti pagi.

“Dik, pulang duluan ya.. Semoga kita bisa bertemu lagi” mbak Etik, wanita yang baru kukenal semalam mengulurkan tangan berpamitan.
“ Silahkan mbak… InsyaAllah… hati-hati dijalan mbak, masih gelap” sahutku sambil menyambut erat uluran tanganya.
“Iya terimakasih…kamu masih tinggal ta?”
“ Hehehe…pinginnya sekalian nunggu dhuha mbak. InsyaAllah…”Jawabku dengan melempar senyum pada mbak Etik yang sudah bangkit berdiri.
“Ya sudah…saya duluan. Assalamu’alaikum….”
“ Wa’alaikumsalam warahmatullahiwabarakhatuu…”

Kulihat yang lain menyusul meninggalkanku yang masih asyik berdiam diri diatas hamparan karpet bergambar masjid berjajar membentuk shaf-shaf. Tampak juga olehku sekelompok muslimah yang sejak datang semalam sedikit menarik perhatianku demi melihat keakraban dan kehangatan diantara mereka. Sepertinya mereka sangat dekat sekali. Mungkin mereka dari satu tempat pengajian atau organisasi tertentu. Mungkin.

Bergulir waktu tanpa terasa sang mentari pagi pun terbangun terusik dengan riuh suara burung yang bernyanyi sambil menari-nari diatas kubah masjid.
Selesai sholat dhuha, kurapikan mukenah dan kumasukan dalam tas tenteng. Segera aku beranjak hendak meninggalkan masjid yang penuh dengan kenangan indah. Kuletakan kembali meja lipat yang semalam kuambil dari tempatnya. Sejenak kurapikan yang sedikit berantakan dalam tumpukan.

Kulangkahkan kakiku menuju pintu masjid. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan pemandangan yang ada saat mataku menebarkan pandangan ke sekeliling ruang masjid tempat jamaah wanita yang baru kami gunakan semalaman. Banyak kutemukan meja lipat tergeletak begitu saja. Kitab Suci pun masih betengger di tempat-tempat yang bukan semestinya. Yaa…masih tertinggal di tempat para jamaah yang menggunakannya semalam. Padahal pihak takmir sudah mengingatkan lebih dari satu kali untuk mengembalikan di tempatnya semula setelah menggunakannya. Tapi yang terjadi… banyak yang masih berserakan. Bahkan kutemukan juga kantong plastik, botol kosong, kertas, atau tissue. MasyaAllah…..

Ya Allah…kok begini sih? Kok mereka tinggalin begitu saja?Mana tanggungjawabnya? Sebegitunya…ya Allah…hatiku bergeming. Kuletakan lagi tasku di tepi pilar. Lalu kucoba merapikan meja lipat dan kitab suci yang berserakan dengan mengembalikannya di rak-rak yang ada. Kupungut juga botol air minum, plastik, tissue,kertas dan sebagainya yang terlihat mengotori.
Kucoba menenangkan hatiku yang terus bergemuruh. Tapi aku tak mampu. Begitu keras celotehnya hingga menggetarkan jiwaku…

Ya Allah…mengapa begini? Bukankah semalaman kami disini mencari ridho dan cintaMu. Kami mengaji membaca kitabMu, kami mendirikan sholat untuk bermi’raj kepadaMu. Kami bertafakur untuk mengoreksi kebodohan dan kesalahan kami. Tapi mengapa masih begini?
Wahai saudariku sesama muslimah, bukankah ini rumah Allah? Lalu mengapa engkau tinggalkan sampah di dalamnya? Bukankah bersih dan rapi itu sifatNya? Lalu mengapa setelah engkau memakai meja lipat dan kitab suci, engkau tinggalkan begitu saja ?Siapa yang kamu harapkan untuk membersihkan dan merapikannya? Apa karena sudah ada tukang bersih-bersih sehingga dengan seenaknya kamu meninggalkannya begitu saja? Apa karena kamu merasa sudah memasukan lembaran rupiah kedalam kotak amal sehingga itu sudah berarti engkaupun telah membayarnya? Mengapa kita menjadi beban bukan malah membantu meringankan?

Wahai saudariku, bukankah kita semalaman mencari ridho dan cintaNya? Lalu mengapa kini kita melakukan yang berlawanan dari sifatNya? Bagaimana kita bisa berbuat baik di luar sana sedang masih di dalam rumahNya kita sudah tidak beretika? Bagaimana kita mengharapkan Allah menganugerahkan yang lebih besar, sedang yang kecil begini luput dari perhatian kita? Apakah menurutmu ini sepeleh sehingga kamu menyepelehkannya? Bukankah Rosul mengatakan bahwa hakekat beragama adalah ahlaqul karimah? Lalu bagaimana dengan ahlaq kita yang masih seperti ini?

Wahai saudariku, Bukankah setiap apa yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya kelak dihadapanNya? Sekecil apapun itu. Lalu apa yang akan kita jawab dari kelalaian kita ini? Ya Allah…Tuhan yang maha pengampun, ampuni dosa dan kelalaian kami ya Allah…

Keras sekali suara hati ini berceloteh dalam rintihannya. Kucoba melepaskannya. Berat, namun terus kulepaskan. Kukembalikan semua pada Allah yang menguasai tiap-tiap peristiwa yang terjadi. Tiba-tiba kurasakan hatiku berbisik …

“ Sudahlah fit, kamu jangan sewot begitu. Ini semua kan bisa jadi jalan kamu berbuat baik dengan turut membersihakan rumah Allah. Kalau tidak begini mana mungkin kamu bersih-bersih. Tenangkan hatimu, yang penting kamu hati-hati dengan setiap apa yang kamu lakukan. Jangan sampai hal semacam ini kamu turut melakukannya. Kamu tahu satu hal dari keburukan, maka jaga dirimu dari keburukan itu. Turutlah membersihkan, memperbaiki jangan turut merusak dan mengotori.“

Ups!!…iya-ya…mengapa aku jadi sewot begini. Hehehe… Hmm Ya Allah…semoga Engkau senantiasa membimbing dan menjaga diriku dari kebodohanku.…harap hatiku yang diiringi cerah suasana di pagi hari ini.

*****

Wanita Mabuk

Kususuri jalan raya yang masih sepi di pagi yang cerah itu. Dengan mengendarai motor bututku, kucoba menikmati kesejukan udara yang mengikuti disetiap perjalanan kami. Yuli melingkarkan tangannya di pinggangku dengan erat. Sesekali ocehan kami mengisi ruang-ruang kosong di pagi yang masih belum begitu bising. Maklum, hari ini minggu, jadi sebagian besar penghuni kota ini lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah dengan keluarga dari setelah enam hari sudah mereka ditinggalkan untuk bekerja.

Melihat jarum penunjuk bensin berada di bawah, maka kumasuki SPBU yang berada di sebelah kanan jalan. Yuli turun dari boncenganku dan menunggu di tepi lain areal pengisian bensin. Kali ini tidak begitu ngantri jadi dengan mudah kudekatkan motorku pada petugas pengisi bensin. Di tengah kami mengisi bensin, kami dikejutkan dengan kegaduhan orang-orang di samping kamar kecil yang terletak di pojok. Terlihat seorang wanita digendong oleh seorang pemuda keluar dari kamar kecil tersebut. Badannya limbung begitu pemuda itu mencoba memberdirikannya. Hingga akhirnya si pemuda membopong lagi wanita itu untuk dibawa masuk ke dalam taxi yang pada saat itu baru saja di panggil orang-orang sekitar. Dengan memakai rok mininya, terlihat bagian-bagian tubuh wanita itu saat di bopong sang pemuda. Sungguh pemandangan yang ngiris di hati kami.

Kaget campur penasaran mata kami yang melihat dari kejauhan mengikuti adegan yang tidak terjadi di setiap harinya. Setelah pintu taxi di tutup dan mulai berjalan, si pemuda mengikuti dari belakang dengan mengendarai motor. Namun selang beberapa meter taxi berhenti, dan terlihat wanita itu keluar dan duduk di tepi jalan sambil bertiak memanggil si pemuda. Sepertinya dia takut jika di tinggalkan sendirian oleh si pemuda itu. Kemudian pemuda itu mencoba memberi penjelasan bahwa dia mengikuti dari belakang. Lumayan lama si pemuda itu untuk meyakinkan wanita tersebut yang akhirnya didapatkan si wanita menyetujui untuk naik taxi sedangkan si pemuda mengikuti dari belakang. Dan taxi itupun merambat lagi meninggalkan kami yang seperti terhipnotis dalam hitungan menit yang berlalu.
“ Ada apa ya mas..?” tanyaku pada petugas
“ Biasa mbak, mabuk.!”
“ Astaqfirullahal a'dhiim....” sahutku sambil meninggalkan petugas pengisi bensin yang mulai sibuk dengan orang-orang yang sudah berada di barisan belakangku.
Kuhampiri Yuli yang sudah menunggu sedari tadi. Sepertinya dia juga menikmati pemandangan pagi itu tanpa melewatkan adegan wanita dan si pemuda barusan. Bibirnya nyengir memberi tanda kengirisan hatinya dari tingkah wanita tadi.

Kami melanjutkan perjalanan dengan masih tercekap kebisuan dalam alam pikiran masing-masing mengenang peristiwa yang baru saja kami saksikan. Wanita cantik yang mabuk hingga membuat semua mata tertuju padanya. Tiba-tiba rasa sedih menyapaku tanpa permisi terlebih dahulu.
“ Kasihan ya Yul, wanita itu..” kulempar juga akhirnya kata-kata itu
“ Orang mabuk kok dikasihani, ya biarin. Malu-maluin”
“ Jangan gitu Yul, dia itu perlu kita kasihani. Dia seperti itu sebenarnya kan juga bukan kemauannya.”
“ Lho..! lantas kemauan siapa? Lha wong dia yang mabuk kok. Ya jelas dia yang salah”

“ Iya...dia salah kalau kita lihat dari sisi kesalahannya. Tapi tidak bisa ku pungkiri hati kecilku yang ingin memberi rasa kasihan padanya. Sekarang coba kamu pahami.... mana ada orang yang pingin jadi orang yang gak bener. Emang ada? Enggak ada Yul. Di dunia ini sebenarnya semua manusia itu pinginnya jadi orang baik,.. Kalau gak percaya, coba kamu tanyakan sama perampok sana...apa dia dulu cita-citanya jadi perampok? Pasti jawabnya tidak.” suaraku mulai lebih keras untuk mengimbangi deru kendaraan yang mulai ramai mengisi jalanan.

“ Tapi tiap manusia itu kan bisa menentukan pilihannya dalam hidup ini. Apa dia mau jadi baik atau jelek. Lha kalau pilihannya jelek kan jadinya juga jelek. Kalau pilihannya baik jadinya juga pasti baik.”

“ Iyaa...kamu benar. Tapi jika kita memandang orang dengan cara pandangmu seperti itu, yang ada nanti kita akan selalu menyalahkan orang. Apa kita lupa bahwa kita ini hanya seorang hamba Allah yang notabenenya jelas Lahaulawalahuata ilabillah . Coba kita ganti sudut pandang kita dari sisi seorang hamba. Simpati atas dasar sesama hamba. Kan sama kita dengan wanita tadi. Sama-sama mahluk Allah dalam wujud manusia. Cuma bedanya, kita mendapat pertolongan dari Allah hingga kita bisa menang melawan nafsu kita sehingga tidak terjerat oleh kemaksiatan. Sedangkan wanita itu kalah dengan nafsunya. Dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah. Kan kasihan... karena itu kita ini mesti banyak bersyukur tidak sampai begitu. Alhamdulillah Yul....dan jangan juga sombong. Karena amal baik kita juga atas anugerah Allah. Bukan kemampuan kita. ”

“ Lha mengapa dia tidak minta tolong sama Allah biar selamat. Kan salahnya juga kenapa tidak berusaha.”
“ Lho... kamu juga kan belum tau latar belakang dari wanita itu. Dan Allah membuat keadaan demikian juga pasti ada manfaatnya. Sekarang coba bayangkan, kalau semua orang ini baik semua. Tentu istilah baik sudah ilang. Karena enggak ada pasangannya. Ada keburukan pasti ada kebaikan. Seperti wanita itu tadi sebenarnya kan jadi tugas kita untuk mengingatkannya. Tinggal nanti ada hidayah atau tidak ya....apa kata Allah. Itu sudah di luar urusan kita. Tugas kita hanya menyampaikan dan menunjukan kebenaran.”

Kuhentikan ocehanku diiringi berhentinya motor kami melihat lampu merah di perempatan jalan pusat kota yang mulai ramai dengan asap knalpot baik dari roda dua maupun roda empat. Di sisi kanan jalan terlihat anak penjaja koran menawarkan dagangannya sedang menghampiri para pengendara yang berhenti. Dalam hitungan detik lampu merah sudah berganti dengan warna kuning dan diikuti warna hijau. Kamipun melanjutkan perjalanan. Membela hiruk pikuknya orang-orang yang sudah lalu lalang.

“ Lha wong kenal aja tidak kok jadi tugas kita sih fit... kamu itu bagaimana. ya....tugas bapak ibunya donk....” Yuli menyambung bahasan kami.
“ Maksudku itu bukan wanita itu pastinya. Tapi saat orang-orang sekitar kita jika ada yang kita tau tidak benar, itulah tugas kita untuk mengingatkan. Wanita itu ya...biar diurus lingkungannya sendiri.”
“ Ee...belok kiri non...” Yuli mengingatkanku

Cepat-cepat kubanting setir arah kiri dengan mendadak. Untung di belakang kami tidak begitu ramai pengendara lainnya. Coba kalau ada pasti kami sudah tertabrak.
“ Hehehe....iyaa...jadi lupa jalan nih. Sudah, kamu gimana? Masih menyalahkan wanita itu? Masa enggak kasihan blas. Kasihan...dia tidak bisa memenangkan pertempuran dalam batinnya hingga yang menang setan yang selalu menyesatkan.” sambungku.

“ Ya....kalau dipikir seperti yang kamu sampaikan itu sih.. emang..jadi kasihan juga. Ngeri kalau sampai nafsu kita yang lebih berkuasa. Pasti raja setan merasa merdeka dan tepuk tangan seneng banget.”
“ Makanya jika melihat orang yang berbuat keburukan, jangan membencinya. Malah kita rangkul penuh kelembutan dan kasih sayang. Islam kan Rahmatan lil a'lamiin. Kita bantu mereka menemukan kebenaran. Baik dengan nasehat, atau apa saja yang bisa kita upayakan. Setidaknya dengan doa yang bisa kita berikan. Doa kan gratis.”
“ iya...iya bu nyai... tapi sambil lihat jalannya ya....nanti salah arah lagi. Kebanyakan mikir wanita tadi sih...” sela Yuli mengingatkan karena kami sudah dekat dengan tujuan.
“ Hehehe....” sahutku sekenanya.

Tiba-tiba adegan wanita mabuk di POM bensin itu membayang lagi di benakku. Mulai dia dipapah masuk ke kamar kecil hingga di gendong masuk taxi dan keluar lagi duduk di tepi jalan, dan akhirnya masuk ke dalam taxi dan berlalu begitu saja. Masih lekat wajah cantik dengan kepucatan wajahnya saat menahan pusing dan mual yang mungkin mengaduk-aduk perutnya. Sebenarnya peristiwa itu terjadi hanya sebentar saja di hadapan kami. Jika di kisarkan tidak lebih dari 15 menit. Tapi dalam waktu yang singkat itu mampu menggetarkan hati kami yang menyaksikan. Rasa kasihan datang lagi menyapaku. Sedih tiba-tiba juga sudah menjadi teman dalam hati. Hingga yang ada akhirnya untaian do'a yang kucoba panjatkan

Ya Allah....Tuhan yang penuh kasih
Kasihanilah wanita mabuk tadi ya Allah...
Dengan luasnya ampunanMu, ampunilah dosa-dosanya

Sungguh ya Allah.... dia tidak akan mampu melawan dirinya sendiri
Dia tidak akan sanggup melawan setan yang selalu berbisik dihatinya
Tanpa Engkau memberi pertolongan baginya.

Selamatkan dia ya Allah.....jaga dia ya Allah....
Dia juga hambaMu yang tidak berdaya sebagaimana diriku...
Hanya Engkau yang berkuasa membuka dan menutup hati tiap-tiap anak manusia.

Bukalah hatinya untuk bisa melihat kebenaran
Dan beri kekuatan dia untuk berjalan dalam kebenaranMu ya Allah
Dan bukalah hatinya untuk bisa melihat keburukan serta beri kekuatan dia untuk meninggalkannya.

Turunkan hidayah untuknya ya Rabb....
Ya Allah.....kami semua lemah tanpa pertolonganMu...kami lemah ya Allah...
Lahaulawalahuata ilabillah......


Tak tahan diriku dengan gemuruh di hati. Panas lalu basah sudah kedua bola mataku. Sedih mencoba menguasai hatiku, namun dengan sekuat tenaga kutahan untuk tidak berkelanjutan. Kutenangkan kembali hatiku dengan menyerahkan semuanya pada yang Maha berkuasa nan bijaksana. Allah pasti memberi yang terbaik bagi kami hamba-hambanya bisiku dalam hati dengan menyunggingkan senyuman. Kutarik nafas panjang untuk melepaskan pelukan rasa sedih. Lapang yang ada.

Di depan sebuah masjid yang berpagar warna hijau itu kami berhenti. Yuli turun dari boncenganku dan merapikan krudungnya. Ku parkir motorku di area parkir yang sudah disediakan. Lalu kami berjalan beriringan memasuki serambi masjid yang masih sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat sudah datang. Mungkin sebentar lagi yang lain akan datang. Lalu kami menggabungkan diri sambil menunggu pengajian yang sebentar lagi dimulai. Masih ada waktu 15 menit untuk istirahat. Akh....alhamdulillah, kami tidak terlambat.

****

Rabu, 28 November 2007

Nasehat Seorang Sahabat

Gemerisik daun yang saling bergesekan melalui jendela kamar yang terbuka lebar menyapaku begitu lembut. Pekatnya malam pun turut menerobos masuk menemani. Sedangkan sang angin kubiarkan memeluku mesrah dibawah sinar lampu kamar yang menatap tanpa enggan untuk berkedip.

Dihadapanku sebuah buku favorit sudah siap menunggu untuk ku baca ulang. Sudah ketujuh kali kubaca buku ini. Entahlah, sangat suka aku membacanya. Rasa nyaman mengaliri bilik-bilik kalbuku.

Tiba-tiba Hpku memanggil dengan nada singkat miliknya. Kutengok siapa gerangan yang kirim pesan di malam yang mulai larut ini. Ternyata Kang Sono, sahabatku yang tinggal jauh di luar kota menyapa dengan sebuah kalimat hikmah pencerah jiwa.
“Bila Allah Swt mencintai seorang hamba, Dia memberinya kesusahan yang banyak. Bila Allah Swt membencinya, dunia si hamba itu dileluasakan (Al-Dudhail bin Iyadh) iki fit.”
Tersenyum aku membacanya dengan tak lupa ucap syukur pada Allah yang telah mengirim Kang Sono untuk memberikan pencerahan di hati. Lalu aku membalasnya “ Alhamdulillah, terimakasih kang. Lalu, bagaimana jika ada orang yang ahli ibadah. Ibadahnya top banget, tapi juga cinta harta. Kasihan jg heran kalau lihat orang yang begitu. menurutmu bagaimana kang?”

Tanpa menunggu lama Kang Sono membalasnya “Cinta harta baik fit, tapi ki2r gak . Qt jg cinta harta nyatanya kerja, kemana2 bawa hp, fit kyai q itu ingin sesuatu kalau gak bagus dan mahal gak mau”
“Jadi boleh ya cinta harta? Terus kalau hartanya di ambil Allah misal melalui kecurian, dan dia sangat sedih karena cintanya diambil. Bgm? Emang boleh cinta selain Allah kang? Kan hati cuman 1. Dan Allah pencemburu, karena itu tidak mau disekutukan. Celakalah jika orang mengaku cinta Allah tapi masih menaruh hati pada yang laen. Bukannya Harta mesti di tangan, Allah yang di hati kang? Walahu'alam.” balasku.

“Hehe Fit, yang gak boleh itu harta masuk ke hati. Fit kamu mau gaji kamu dipotong tanpa sebab. Dan kerja gak dibayar?” balas Kang Sono. Kulihat jam di meja sudah menunjukan pukul 22.00. Kuurungkan niatku membaca buku. Kututup lalu kembali membalas sms kang Sono
“Lho yang namanya cinta itu ya di hati kang. Soal gaji dipotong tanpa sebab. Jika emang itu kehendak Allah, insyaAllah saya terima. Bukankah sebab itu datang dariNya dan akibat itu pemberianNya. Masalahnya 1, kemana kecenderungan kita melihatnya? Pada pemberian apa sang pemberi. Jika pada sang pemberi, disana tiada sedih, kecewa, atau marah. Wassalam.“ kucoba mengakhirinya karena kantuk mulai menyapa, dan pembaringan pun memanggil menawarkan diri.

Belum sempat aku beranjak untuk menutup jendela kamar, Hp melengking lagi. “Coba kamu pindah kerja dengan gaji sedikit kalau mau silahkan besok pagi kamu pindah, itu artinya gak cinta harta gak usah pakai alasan itu yang dilakukan robi'ah”

Belum sempat juga kubalas, sudah datang yang berikutnya “Kalau bisa kamu kerja tapi gajimu untuk fakir miskin itu yang dilakukan ibrahim bin adam. Kalau berani lakukan silahkan.”

Dengan menahan kantuk kucoba membalasnya “Hehe...ngapain pindah jika itu nurutin nafsu. Allah yang menempatkan bukan aku, kamu atau siapa. Allah yang memberikan garisNya atas kehendakNya. Robi'ah dalam garisNya tidak menikah. Apa aku juga mesti begitu? Jika kita masih meniru dari luar bukan menyambut dari dalam diri, hati2, itu mungkin nafsu kita bukan kemauanNya. Uda ya.mau tidur nih. Maaf lahir batin jika ada salah dan suwun. InsyaAllah kapan2 saya pingin maen kesana. Kenalin ama nenek sufi itu ya. Salam sungkem untuk beliau. Wassalam:o)”

Kumatikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur yang lebih redup. Berat kepala dan mataku, segera hendak kubaringkan tubuhku tiba-tiba Hp bernyanyi lagi. Ternyata Kang Sono masih meneruskan “ Loh itu contoh, kalau bgtu kita gak usah contoh nabi. Kan kita baik. Atau shabat, buat apa to nabi udah gak ada. Kamu contoh walinya aja gak mau apa lagi ulama, apa kamu tunggu wahyu. Kaya nabi, apa malaikat jibril?”

Wah, jadi panjang nih. Salah paham bisa jadi...gemingku dalam hati. Akhirnya akupun membalasnya “Iya tentu kita meneladani beliau semua. Tapi ga hantam kromo gitu kang. Kekuatan hati tiap orang kan berbeda. Dan Allahlah yang menguasai hati tiap2 manusia. Wallahu'alam bi showab.”

Kurebahkan tubuhku. Sudah tak tahan dengan rasa kantuk yang menyelimuti. Kulihat jam yang bertengger di meja sudah menunjukan pukul 22.30. Kupanjatkan doa untuk menyerahkan hidup dan mati pada Allah Swt. Ingat sunnah Rosul dengan miring kekanan yang membuatku memiringkan tubuhku menghadap meja yang berada di sisi kanan pembaringan. Tiba-tiba Hp memanggilku lagi.

Kupaksakan diriku meraih dan membaca pesan yang ternyata masih dari Kang Sono.
“Fit katanya ingin praktek, ayo lakukan. Aku dulu kerja di perusahaan selama 3th. Aku keluar di kota bising banyak orang sibuk cari duit gak tahu siang dan malam cari duit terus sampai badan kurus patuh pada bos. Kalau gak mau takut di pecat katanya patuh hanya pada Allah, ya jadinya aku tanpa perintah bebas semau gua. Fit Aku kemarin ditawarin kerja di perusahaan oleh ka2ku yang kebetulan sebagai personalianya. Aku jawab enggak minat. Jangankan kerja, cewek aja gak kepikiran. Yang kutahu bahwa Allah itu ada. Jadi gak usah di akal atau rekayasa gitu. Dikatakan takut ogah. Katanya lek iso tumpak ono dunyo, ojo sampek di tumpaki dunyo.”

Subhanallah...Kang Sono kok jadi seru begini?. Akh...maaf kang saya sudah ngantuk banget. Kapan-kapan kita sambung lagi diskusinya...bisik dalam hatiku sendiri seolah-olah kang Sono pun mendengar bisikanku. Akupun terlelap.

Waktu subuh datang, segelintir orang yang diberi kekuatan olehNya untuk memenuhi panggilanNya kala itu juga. Ada yang terlambat tapi tetap datang menghadap. Tapi Ada juga yang ditutup mati hatinya hingga tak terdengar panggilanNya sama sekali. Semua dalam kuasaNya.

Begitu turun dari jamaah sholat subuh di masjid, kusapa Hp yang kurasakan semalam masih memanggil-manggil dan tidak sempat kuhiraukan lagi. Ternyata Kang Sono yang mengirimkan pesannya di pukul 00.54dini hari.
“Hihihihaha.. Fitri2 orang yang hati hanya ada Allah, maka ia tak akan menilai hati orang lain, wong ia mencintai harta itu yang menggerakan Allah, maka aku bilang baik. Berarti hati masih ada selainnya(ngrasani) berarti kamu merasa dirimu paling....di banding orang lain. Kadang orang yang kamu sangka itu jauh lebih baik darimu. Ini kata orang dulu orang yang menyangka biasanya yang melakukan ketimbang yang disangka. Amit q.”

Tersentak aku membacanya. Hingga kucoba membaca ulang lagi dengan pelan-pelan dan berharap Allah memberi kepahaman atas ilmuNya. Lalu ada sesuatu yang kurasakan masuk dalam hatiku. Berdiam disana dan menemaniku cukup lama. Menerawang pandanganku keluar jendela, lalu tertunduk, sedih, malu, takut, juga harap.

Ya Allah...ya Rabb
Betapa malunya hamba padaMu
Betapa bodohnya hamba di hadapanMu
Betapa lalainya hamba ini dengan kuasaMu


Ya Allah...ya Rabb
Mengapa hamba sibuk menilai hati hambaMu yang lain
Hingga lalai untuk menjaga hati hamba sendiri


Ya Allah...ya Rabb
Mengapa hamba merasa lebih baik dari yang lain
Sedangkan hamba tidak lebih baik dari seekor semut yang begitu berkasihsayang dengan sesamanya.


Ya Allah...
Mengapa hamba sibuk menilai orang lain
Sedangkan hamba sendiri tidak mengetahui bagaimana nilai hamba dihadapanMu.

Ya Allah....ya Rabb..
Leburkan rasa sombong dihati hamba
Lumatkan rasa bangga dihati hamba
Hancurkan rasa ujub yang bertengger di hati hamba
Kikis habis rasa riya di hati hamba
Baik yang samar maupun yang terang


Ya Allah...ya Rabb
Tuhan yang Ampunannya melebihi dosa hamba-hambaNya
Hamba datang dengan setumpuk dosa
Dengan luasnya ampunanMu, Ampunilah hamba
Dengan luasnya kasihMu, kasihilah hamba
Terimalah hamba kembali ya Allah....terimalah hamba....


Airmata telah jadi sahabat menemani dan menyejukan dadaku yang terbenam rasa sesal. Kuraih Hp lalu kubalas pesan Kang Sono “Astaqfirullahala'dhiim....terimakasih Kang. kamu da ingetin aq. Smg Allah mengampuni kebodohanku dan membuka hijab hingga mampu melihat bahwa tiada yang laen yang berbuat selain Allah. Tks ya kang.:o).”
Kuusap mataku yang masih tergenang. Kutatap mentari pagi yang tersenyum lembut penuh kasih. Hamparan kasih terbentang disana. Hamparan yang luas. Seluas RahmatNya yang tiada hingga tiada batas.....


****

Selasa, 13 November 2007

Mengingat-NYA

Mendung yang bergelayut di atap bumi turut menghantarkan kepulanganku dari kantor sore ini. Semilir angin menemani disetiap tapak kaki dan membisikan bait-bait cinta dari alam yang membentang dalam sandiwara kehidupan di dunia. Kulihat ibu telah menunggu dengan menyibukan diri bersama tanaman kesayangannya di teras rumah. Begitu banyak tananaman namun sedikit bunga yang bermekaran. Terlalu teduh dengan bangunan masjid yang kokoh berdiri telah menghalangi sinar matahari pagi untuk memberi nutrisi pada tanaman hingga tidak begitu banyak bunga yang dihasilkannya. Begitu suatu waktu ibu pernah memberi alasan padaku saat kutanyakan perihal itu.

“Assalamu'alaikum......ibuu..” kusampaikan salam sembari memasukan motor ke ruang teras.
“Wa'alaikumsalam.....” ibu menjawab dengan melayangkan senyum padaku. Ibu meletakan selang dan mematikan kran air lalu menghampiriku yang sibuk menempatkan motor.
“Alhamdulillah...nak. Terimakasih ya... tadi pagi sudah matikan kompor. Ibu lho sampai deg-degan gak karuan.” sambung ibu sembari menerima salim cium tangan dariku.
“Ooo...tadi pagi itu. Iyaa.. Ibu berangkat keburu-buru kenapa sih? Sampai lupa belum matiin kompor.” sahutku.

Pagi ini memang sudah masuk tanggal ibu ambil uang pensiun. Dan tadi pagi berangkat lebih awal sebelum aku berangkat karena mbonceng sama Hera. Saat turun dari kamar aroma masakan menyapaku begitu akrab hingga mengundangku untuk menengok dapur. Ternyata kutemukan si kompor masih menyala dengan gagah untuk panasin sayur. Syukurlah aku mengetahuinya, hingga bisa langsung kumatikan. Tidak kebayang juga semisal akupun terlewatkan dan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dengan api kompor yang biasanya bersahabat, mungkin bisa berubah pikiran menjadi jahat. Mengobrak abrik isi rumah dengan lahap. Weehhh.....bisa seru nih.

“Kamu tahu nak?! Ibu ingat kompor masih nyala itu waktu ibu dalam angkot. Rasanya jantung ibu mau copot. Ibu langsung turun ganti angkot arah balik.” ibu menyambung cerita yang rupanya masih anget dalam benak beliau.
“Ibu kok gak coba telepon Fitri untuk nanyain? Kan bisa dari wartel kalo ibu pas lagi gak bawa Hp.”
“Ibu lupa nomor hpmu nak. Poko'nya...ibu khawatir bener. Ibu dzikir sepanjang jalan. Istiqfar.....atau baca apa aja. Ya Allah...ya Allah... tolong rumah saya ya Allah...! Sampai orang-orang di angkot tanya ibu kenapa. Yaa...ibu jelasin lagi ninggalin kompor menyala. Ibu juga minta tolong pak supirnya untuk jalan lebih cepat.” cerita ibu dengan jiwa yang penuh.

Kami mengambil duduk di kursi teras rumah. Kusimak cerita ibu sembari melepas sepatu dan alas kaki. Sesekali aku tersenyum melihat gaya ibu menceritakan serunya kejadian tadi pagi.
“Terus...?” pintaku yang tidak ingin ketinggalan alur cerita dalam penggalan seperti cerita-cerita sinetron di televisi.
“Begitu ibu sampai rumah langsung menuju dapur. Melihat kompor sudah mati, ibu langsung sujud syukur nak... ya Allah.... kaki ibu sampai gemeteran. Ibu takut gasnya meledak. Wahh...gak berani bayangin.”
“Hmm...Ck...ck..Ibu..ibu. Ya Allah...seru banget.” sahutku sambil nyengir sedikit menggoda ibu untuk mengkendorkan ketegangan yang telah terundang datang.
“Iya nak... lumayan lama ibu diam mengembalikan gelisanya hati ini. Kan sudah tua nak. Jadi kalau ada apa-apa gampang was-was.”
“Maaf bu, Kalau itu Fitri kurang setuju.”
“Lho!? Kan bener kalau sudah tua gampang kepikiran bikin hati was-was. Beda kalau masih muda. Kan masih kuat.”

Kuraih tangan ibu dan menggenggamnya erat-erat. Wajah ibu masih terlukis bias ketegangan dari cerita ulang kisah tadi pagi. Seolah-olah ibu mengulangi lagi perstiwa tadi pagi dengan detak jantung yang berpacu sedikit kencang. Mungkin karena terlalu semangat saat menceritakannya dan menjiwai. Sehingga saat ceritanya berlari, jantung turut berlari. Saat cerita bahagia, jantungpun berbunga. Apalagi kalau menceritakan hal yang mengharukan, pasti bawaannya terenyuh hingga tanpa dirasa air mata pun turut nimbrung.

“Bu...menurut Fitri, bukan dari tua mudanya. Kalau tua ato muda, itu yang membedakan hanya kekuatan Fisiknya saja yang lemah. Bukan kekuatan bathin atau jiwa. Semisal sama-sama mendapatkan masalah, jika yang tua jiwanya kuat dengan bersandar pada Allah, pasti dia kuat walau badannya ringkih. Sedangkan yang muda, kalau jiwanya lemah, tidak stabil maka gampang stres, putus asa, bisa jadi malah bunuh diri. Itu contoh dengan masalah yang sama dihadapi dua usia yang berbeda dengan kekuatan jiwa yang berbeda pula.” dengan nada yang pelan kucoba membuka pemahaman ibu.

Ibu tersenyum menanggalkan bias-bias ketegangan yang semula masih terlihat, kini mulai memudar digantikan bias ketenangan. Lalu kucoba meneruskan.
“Seperti tadi pagi, ibu mengetahui kompor belum mati. Ibu gelisa kan?. Padahal ibu juga berdzikir dengan membaca istiqfar dan yang lainnya. Padahal kalau dzikir itu kan mestinya hati ibu bisa tenang. Tapi ibu masih tegang terus.. berarti ada yang kurang beres dari dzikirnya.” kucoba memancing ibu untuk turut mengkoreksi.
“Iya..ya.? Mestinya kan tenang ya nak. Ibu masih belum bisa seperti itu. Ibu masih gampang resah dan was-was nak. Hmmm...bagaimana ya?”

“Dzikir itu kan mengingat Allah bu, dan ibu sudah mengingat Allah pada waktu itu. Tapi masalahnya ibu hanya mengingat namaNya saja.”
“Ibu bingung nak...? Maksudnya bagaimana?” tanya ibu dengan tatap harap untuk kuteruskan. Kini ibu yang mengenggam tanganku. Sesekali tanganku ditarik sebagai tanda ibu meminta aku meneruskan. Ibu memang paling senang kalau mendengar aku mengoceh masalah keimanan atau hal yang berbau agama. Beliau sangat memperhatikan dengan seksama. Kadang aku merasa risih sekaligus geli melihatnya.

“Begini... disaat kita ingat Allah dan menyebutnya, mestinya kita iringi dengan kepahaman kita akan sifat dan perbuatanNya. Ibu ingat Allah... lalu Allah yang bagaimana?! Bukankah Allah itu maha pengasih, maha memberi, maha kuasa, maha menenukan dan maha segala-galanya. Bukankah tidak ada satu hal sekecil apapun yang terjadi itu diluar kehendak dan kuasa Allah? Dan bukankah Allah selalu memberi yang terbaik buat kita?” jelasku yang kadang kelewatan cepat ngomongnya.
“Hmm...cepetnya kalau ngomong. Sini tak kasih cabe merah kaya' mbak Titik biar ngomongnya pelan-pelan. Hehehe... mulai ngerti sih... tapi kurang jelas nak.” sahut ibu dengan tersenyum lebar sambil membebaskan tanganku.

“Tadi ibu ingat Allah. Kan Allah maha mengabulkan do'a, dan ibu sudah berdoa minta tolong kan... Dan bukankah untuk hasilnya kita serahkan sama Allah. Hati mestinya digantungkan pada ALLAH. Ibu juga mestinya ingat, bahwa Allah itu Maha berkehendak. Jika Allah menghendaki rumah ini kebakar, meski ibu upaya bagaimana juga pasti kebakar. Meski ibu ada didalam rumah. Meski ibu terjaga. Pasti Allah buat jalan untuk bisa terbakar. Dan pasti bisa. Namun jika Allah menghendaki rumah ini tidak terbakar, meski ibu tinggalin dalam keadaan bagaimanapun juga, Allah tetap akan menjaganya dengan jalanNya juga. Allah yang mengatur segalanya bu. Dan apapun itu, pasti yang terbaik buat ibu menurut Allah. Itulah pemberian Allah. Nah.... mestinya hati ibu kan bisa tenang kalau semua yang terjadi itu yang terbaik buat ibu dari ALLAH. Gak usah gusar.” Jelasku panjang lebar. Kurasakan kerongkongan begitu kering seperti sedang menempuh jalan yang begitu panjang dan kelelahan.

“Jadi maksudmu ,tadi ibu gak usah balik pulang ya nak? Diserahin sama Allah. Gitu?”tanya ibu mencari lebih jelas dalam menentukan sikap.
“Lho...?! balik pulang itu kan ikhtiar ibu. Jadi ya ga pa-pa. Tapi kembalinya ibu kerumah mesti diiringi dengan hati yang tenang. Kaki tetap melangkah, hati tetap bersama Allah. Diserahin semuanya sama ALLAH. Masa' gak percaya sama ALLAH? Dan hati-hati dengan gelisah atau was-was. Karena Gelisah dan was-was itu salah satu pintunya setan lho bu. Nti pasti dikipasin ama setan. Buntutnya pikiran jadi ruwet dan berujung stress. Tuhh kan..!!” jawabku sambil beranjak berdiri yang diikuti oleh ibu. Kamipun masuk ke dalam rumah.

“Sebenarnya intinya cuman satu bu..” dengan mengambil air minum kucoba meneruskan.
“Apa nak?”
“Yakin bahwa yang terjadi itu Allah yang mengatur dan yakin bahwa Allah pasti memberi yang terbaik buat kita. Sudah kita yakini itu aja. Dan kita sambut setiap pemberian Allah dengan syukur. Beres deh. Hehehehe.... Fitri kaya' kepinteren aja ya bu? Maaf lho bu, Fitri gak bermaksud apa-apa. Sekedar mengingatkan, sekalian ngingetin diri sendiri juga.. Dan itu semua kan teori. Prakteknya emang gak gampang, kecuali mereka yang mendapat pertolongan Allah.. Fitri sendiri juga masih belajar. Ibu ingetin Fitri juga ya.... kalau pas Fitrinya mbleot... Semoga aja Allah memberi kekuatan dan senantiasa membimbing kita ya Bu... ”

“Amien......Ibu itu lho tambah seneng kalau ada yang mengingatkan. Ibu jadi bisa ngerti. Alhamdulillah...Allah sudah kirim Fitri untuk nemenin ibu. Ibu sangat seneng sekali. Bisa nambah keimanan ibu. Kamu jangan jauh-jauh dari ibu ya nak....” kaca-kaca bening di bola mata ibu berkilatan memancarkan haru yang menyembul dari rasa syukur beliau. Sekali lagi beliau meraih tanganku dalam senyum penuh rasa yang aku sulit mengartikan. Haru, bahagia, syukur, sedih, dan kilatan-kilatan rasa lainnya membuat hatiku turut bergidik.

“Akh....jangan berlebihan begitu bu... gak baik. Fitri kan cuman Fitri. Yang suka ngerepotin ibu. Suka godain ibu. Manjanya minta ampun. Masih minta dulang lagi.” ocehku dengan memonyongkan bibir sambil melipat-lipat ujung baju tertunduk malu-malu mencoba buat ibu tertawa melepaskan ikatan rasa.
“Hahahahaha......” tawa kami akhirnya semburat memenuhi ruang tengah dengan aneka warna-warni rasa hati kami.

Kuteguk air dalam gelas yang berada dalam genggamanku. Air mengalir membasahi kerongkongan yang begitu kering. Hawa sejuk menyusuri tubuhku. Oo...Tuhan, inikah sebagian nikmat yang telah Engkau berikan atas diriku yang lemah dan tak bedaya?? Diri yang masih banyak dalam kebodohan dan kelalaian. Ya Allah.... Ampuni dosa hamba Dan Terimaksih atas nikmatMu...terimakasih.

******

Satu Rakaat Dua Putaran

Mas Andik tetangga sebelah rumah bertandang maen ke rumah. Kami bercengkrama di ruang tamu. Biasanya mas Andik akan banyak bercerita soal sejarah Islam ataupun sejarah para nabi. Mas Andik memang suka sekali dengan sejarah ataupun kisah para sahabat nabi atupun ulama terkenal. Kalau sudah cerita begitu aku mendengarkannya dengan seksama. Takut gak ngeh karena aku sendiri tidak begitu menyukai pelajaran sejarah. Waktu sekolah dulu aku sukanya sama matematika. Paling getol kalau urusan angka-angka. Ada rasa penasaran disana. Dari penasaran itulah yang membuatku lebih cenderung memilih bidang matematika. Kalau sekarang sih sudah males pusing-pusing.

“Mas, kamu kan uda beli bukunya Agus Mustofa sampai delapan buku. Udah baca semua?” tanyaku memecah heningnya malam.
“Ya..belum semua Fit. Lagian itu kan bukan bukuku semuanya. Itu buku orang satu rumah. Kami patungan. Masing-masing beli dua dengan judul yang berbeda. Jadi kami bisa tukeran.”
“Oo...gitu. Dari yang aku baca nih mas, disebutkan bahwa semua ciptaan Allah ini ternyata berputar lho. Mulai dari yang besar seperti bumi kita ini berputar dalam porosnya dan mengelilingi matahari hingga membentuk galaxy. Dan dari galaxy berputar lagi mengelilingi yang lebih besar lagi super clueser. Begitu sampai tak terhingga. Sedangkan kalau dari yang terkecil atom dan inti atom, semua berputar. Dan semua berputar secara seimbang. Subhanallah...hebat ya mas?” ocehku.

“Iya hebat.... yang bikin itu semua siapa?! Kan Allah. Dan memang ternyata tidak ada yang diam di alam ini. Benda-benda padat aja, yang kita lihat sepertinya diam, tapi sesungguhnya mereka juga bergerak. Semua bergerak berputar walau tanpa kita sadari. Bumi yang kita pijak ini saja kan berputar dan kita tidak menyadarinya. Sepertinya yang berputar matahari mengelilingi kita. Padahal kita yang mengelilingi matahari. Lucu ya... seperti itu kalau kita dalam kebodohan dan tidak mengetahui kebenarannya. Pasti kita akan terkungkung dengan pengetahuan kita yang dangkal. Bersyukur Allah menunjukannya melalui para ilmuwan.” balas mas Andik melengkapi.

“Dan mas Andik tahu enggak, kalau sholat kita itu juga sebenarnya membentuk gerakan berputar. Satu rakaatnya dua kali putaran lho mas.”
“Masa sih...? kalau ini aku yang belum dengar Fit.”
“Dulu waktu pengajian ataupun pas ikut satu pelatihan aku dapatkan katanya satu kali rakaat itu satu kali putaran. Saat dijelaskan, aku gak mudeng-mudeng. Sampai selepas latihan coba nanya sama temen, dijelaskan juga gak ngerti. Masih gak jelas dan gak faham. Sampai saya itu mikir. Kok Oon banget yo aku ini.. dijelasin banyak orang tapi kok gak ngerti-ngerti. Akhirnya aku nyoba hitung sendiri. Lho...malah ketemu satu rakaatnya dua kali putaran.”

“Coba jelasin, aku biar ngerti.” selah mas Andik.
“Sebentar aku ambil kertas ama bolpoint.” sahutku sembari bangkit masuk mengambil bolpoint dan selembar kertas buram. Lalu kuletakan di atas meja.

“Sekarang mas Andik yang nulis, Fitri yang jelasin ya...biar nanti ketemu hasilnya. Ingetin juga kalau Fitri salah. ”
“Ok...”
“Mulai dari posisi berdiri kita ruku, disini berapa derajat? Sembilan puluh kan? Tulis mas sembilan puluh.” jelasku sambil menggerakan tangan agar lebih mudah dipahami.
“ Iya..”
“Kemudian dari ruku kita berdiri lagi kan? Ini juga sembilan puluh derajat. Tulis mas..nanti terakhir ditambahkan.”
“ Iya..”
“Kemudian dari berdiri kita melakukan sujud. Itu berapa derajat? Seratus tiga puluh lima derajat kan. Bener gak..?? kalau salah bilang. Fitri juga sambil inget-inget takut salah nih.”
“Iyaa... bener seratus tiga puluh lima derajat. Kan sembilan puluh ditambah empat puluh lima. Sudah tak tulis..”

“Terus dari sujud kita duduk berarti keposisi tegak lagi. Itu berapa derajat? Seratus tiga puluh lima derajat lagi kan. Tambah lagi ya..
Kemudian dari duduk kita sujud lagi kan? Berarti sama seratus tiga puluh lima derajat lagi. Tulis mas...jangan kelewatan. Nti ngulangi lagi kalau kelewatan..”
“ Iya...iya.. ini juga sudah ditulis dari tadi. “Sahut mas Andik sembari geleng-geleng melihat cerewetku.
“Nah...yang terakhir dari sujud kita berdiri lagi atau pun duduk dalam artian ke posisi tegak lagi. Ini sama juga seratus tiga puluh lima derajat. Wiss... lengkap. Coba sekarang ditotal semuanya mas. Ketemu berapa?”
“Sembilan puluh dua kali, ditambah seratus tiga puluh limanya empat kali. Hmm....sebentar fiit.”
“Berapa..?”

“ Ketemunya tujuh ratus dua puluh.” jawab mas Andik kemudian menatapku bingung dan menunggu. Aku tersenyum kemudian turut membukuk menekuni kertas buram di depannya.
“Satu putaran itu berapa derajat mas?”
“Tiga ratus enampuluh derajat.”
“Nahh...kan tinggal bagi aja hasilnya tadi. Berarti tujuh ratus dua puluh dibagi tiga ratus enam puluh sama dengan dua. Berarti kan dua kali putaran.” Jelasku sambil tersenyum.

“Hmm.. bener!. Dua kali putaran. Subhanallah.... ternyata sholatpun kita berputar ya...”
“Iya mas... semua berputar tidak ada yang diam. Jika kita diam, maka kita akan tertabrak. Atau jika kita melawan arus putaran....wahh....bisa berabe.” sahutku sambil mengambil makanan kecil yang kusuguhkan.
“Tidak ada yang tidak berputar. Subhanallah...” Mas Andik meneruskan dalam keterkesimahannya.

Berlanjut obrolan kami kesana kemari seakan mengikuti tiupan angin malam yang berputar dalam garis-garis yang telah ditentukanNya, Tanda-tanda yang dibentangkan oleh Allah di sekitar dan didalam diri kita, yang hanya semata untuk kita mengimani keberADAanNya. KeberADAan yang Tunggal. Yang tiada yang lain selain DIA. Yang Maha besar, Maha Agung, Maha Indah, dan Maha segala-galanya...

Rabbana.... maakhalaqta haadaa baathila, subhaanaka faqinaa a'daabannar....
Ya Rabb...
Engkau pemilik segala kuasa dan kekuatan..
Engkau yang menciptakan kami dan yang mengatur kami
Ya Rabb...
Beri kekuatan kami untuk mengikuti putaran-putaran yang telah Engkau berikan atas kami
Jangan biarkan kami terlepas dan terplanting dari garisMu
Eratkan kami dengan berpegang pada TaliMu
Tali keimanam dan ketaqwaan padaMU
Ya Allah....
Kami berserahdiri dalam putaranMu....


******

Jika Allah Berkehendak

Riuh suasana kantor bermula dari obrolan teman-teman yang lagi asyik membicarakan Adi. Adi baru saja tertimpa musibah. Malang nian dia. Adi telah jadi korban para penipu melalui sms yang berkedok mendapatkan bonus duapuluh lima juta rupiah. Padahal penipuan dengan modus seperti itu sudah marak dibicarakan hingga diberbagai media massa. Namun kepalang tanggung, toh kenyataannya Adi terbukti menjadi salah satu korban yang masih terus bergulir.

“Gimana sih...kok bisa kena? Ya Allah...kasihan si Adi.” sesal Ida dengan nada gerah.
“Waahhh.....mau gimana lagi. Wong Adi itu lho, sudah kami peringatkan. Sejak awal dia datang tadi pagi. Dia terus di telepone sama penipunya. Heran kok. Bisa-bisanya dia itu mudah percaya.” Rita menimpali. Seakan aktifitas kantor diijinkan untuk berhenti sejenak demi turut berberduka dengan musibah yang menimpa Adi.
Kegalauan mengitari kami yang saling menatap satu sama lain dengan bahasa rasa sesal, dongkol, putus asa juga marah berbaur teraduk-aduk.

Adi masuk ruangan dengan muka tertunduk lesuh. Pucat pasi masih nangkring di wajahnya yang berkulit putih. Mendung tebal menggelayut begitu manja seakan menawarkan diri untuk tetap setia menemani.
“Bagaimana Di?” Yulia bertanya dengan hati-hati.
Adi duduk menghadap meja kerjanya dan tetap menunduk. Seakan ingin merasakan sendiri kemelut yang ada di hatinya. Bulir bening mengambang dari sudut matanya dan cepat-cepat dia menghapus sebelum semua rekan kerja memergokinya.

“Ya...mau bilang apa Yul, tabunganku habis dalam hitungan detik dan itu terjadi di depan mataku sendiri. Ya Allah...saya bingung mau bilang bagaimana sama istriku.” dengan suara pelan dan nafas yang lemah Adi mencoba untuk tetap tegar.
“Ada berapa juta duit tabunganmu?” Rita turut bertanya
“Ada sekitar tiga juta. Untung saya memberikan nomor rekening yang itu. Coba kalau saya memberi rekening yang satunya. Wah...bisa mati saya. Sudah duitnya lebih banyak, itu juga duit berdua dengan istri saya. Untuk yang ini saya tidak berani ngomong sama istri saya. Biar jadi tanggungan saya sendiri.” Adi menjelaskan dengan memutar-mutar pena yang ada di tangannya. Seakan-akan dia meminta pena itu untuk turut merasakan kepedihan hatinya.
“Di...saya itu heran. Bukankah kamu sudah diperingatkan sama Eko, Catur, Rita, Ari,dan banyak orang lagi yang sudah mencoba mengingatkanmu. Kamu kok enggak mau denger itu lho..saya itu heran. Sebenarnya apa yang kamu rasakan sih?” Yulia mencoba untuk menyelidik.

Kucoba mengikuti terus apa yang mereka sampaikan dengan berbagai alur cerita yang kadang sepenggal, namun akhirnya bisa saling melengkapi dan menjadikan cerita yang utuh. Adi menarik nafas panjang memandang kami dengan kekalutan mata yang sayu. Masih jelas terlihat bayangan awan kelabu bersamanya.

“Entahlah...Yul. Seakan-akan telingaku ini terkunci hingga tidak sanggup saya mendengarkan nasehat kalian. Sudahlah...Saya mencoba untuk ikhlas menerima ini semua.” Adi mencoba memupuk kekuatan.
“Kamu tadi pas di dalam ATM juga kan diperingatkan sama Anton sih..?!! Tapi kamu sempat marah-marah. Makanya lain kali hati-hati. Wong penipuan semacam itu lho sudah menjamur kok kamu bisa-bisanya gak ngerti.” Rita menghujani dengan sedikit menyalahkan dari rasa jengkel yang nasehatnya tidak diindahkan oleh Adi.

“Sudah Rit, kamu jangan marahin Adi terus. Kasihan dia. Sudah kena musibah kok malah kamu marahin. Emang kalau kamu marahin gitu duitnya bisa balik apa?” Eko mencoba membelah sahabatnya. Eko bangkit dan menepuk pundak Adi memberi kekuatan moril.
“Yang sabar ya Di...” Eko mencoba menyalurkan ketenangan bathin miliknya. Adik menerimanya dengan menggangguk lemah.

Hening menyelimuti kami dengan alam pikiran masing-masing. Kucoba menggabungkan semua penggalan cerita dan membaca makna dari lukisan yang telah Allah goreskan pada hambaNya yang lemah dan tak berdaya ini. Hmmm....pelajaran apa yang ingin Allah berikan pada kami semua. Itu yang kucoba untuk mencarinya. Masih kutatap wajah pucat milik Adi dengan kelesuhan hidup yang harus dia jalani. Dicobanya untuk menyongsong langkah kaki pada babak berikutnya, tapi masih terasa berat beban dipundak yang merangkulnya.

“Dii...yang sabar ya...jadikan semua pelajaran bagimu.” keluar juga akhinya kata-kataku untuknya. Kucoba dengan sepenuh hati membantu membelai jiwanya yang lara.
“Iya Fit..terimakasih. Semua akan saya jadikan pelajaran.” sahut Adi menatapku mencari teman untuk membagi dukanya. Dan kucoba menerima tawarannya dengan tersenyum dalam ketulusan.

“Pelajaran yang bagaimana Di..?” kucoba menggalih apa yang telah terajut dalam benaknya dari apa yang telah Allah berikan.
“Yaa... saya harus lebih hati-hati .. saya tidak akan mudah percaya dengan hal seperti itu lagi. Dan untuk saat ini saya coba untuk mengikhlaskannya.” jawab Adi yang memaksakan hatinya untuk tesenyum walau kurasakan getir.
“Bagus Di... harus begitu. Tapi ada satu pelajaran yang terlupakan olehmu .” dengan tersenyum kusampaikan mengundang pertanyaan Adi dalam kebingungan.

“Pelajaran yang bagaimana maksudmu Fit?” Adi balik bertanya.
“Kamu ingat lagi. Betapa kita semua teman-temanmu berupaya untuk menyelelamatkanmu dari musibah itu. Tapi toh, tidak ada yang bisa.” kutarik nafas mengatur ketenangan dalam batinku dengan harapan bisa berbicara seiring dengan kata hatiku. Kuingin hati yang memimpin ucapanku. Akhirnya dengan tersenyum kuteruskan.
“Di...jadikan pelajaran, bahwa jika Allah sudah menghendaki kamu terkena musibah, disana berapapun manusia yang berserikat ingin menolongmu tidak akan ada yang sanggup mengeluarkanmu dari musibah itu. Tidak akan!! Allah yang menentukan dan Allah pula yang akan menyelesaikan. Jadi kamu sabar ya... Mohon kekuatan padaNya untuk sanggup bersabar. Kehidupan ini terus berjalan. Dan tidak semuanya sesuai dengan keinginan kita. Ada kalanya kita diberikan nikmat, adakalanya kita mendapatkan musibah, dan disana Allah mau kita untuk bersabar serta mensyukuri apapun pemberianNya. Karena semua itu ujian buat kita. Semoga Allah memberi kekuatan padamu untuk menghadapi ini semua. Dan satu lagi Di, kita jangan berhenti memperbaiki diri. Karena dengan begitu InsyaAllah semua akan baik-baik saja. ” paparku mengutip ceramah ustad yang tadi pagi kudengarkan.

“Iya Fit.. InsyaAllah. Saya akan mencobanya. Terimakasih ya..” sahut Adi sembari tersenyum.
Sambil lalu yang lainnya memperhatikan dan menyimak percakapan kami. Sejurus kemudian kami sudah tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Seakan-akan cerita Adi sudah tidak menarik perhatian kami lagi. Sedangkan waktu terus berjalan dengan cerita-cerita yang selalu tertulis dan terlukis dalam garis kehidupan tiap-tiap anak manusia. Kadang sedih kadang bahagia. Dan semua tetap kan indah jika dirasakan bersamaNya. Ya... bersamaNya...

Ya Allah...Semoga Engkau beri kekuatan Adi menghadapi ujianMu ini
Dan semoga ujian ini bisa menghantarkan dirinya untuk bisa lebih dekat denganMu
Dekaatt...hingga benar-benar dalam pelukanMu...
Amien...

*****

Ulang Tahun Lily

Riuh tepuk tangan dan nyanyian selamat ulang tahun dari anak-anak kecil yang duduk rapi di teras rumah menambah semarak suasana perayaan ulang tahun Lily yang ke-1 tahun. Ruang tamu, teras bahkan sampai ke jalanan dipenuhi tamu undangan baik dari kalangan keluarga, teman maupun tetangga kanan kiri. Sekitar dua ratus lima puluh undangan telah disebar mas Wawan demi merayakan hari kelahiran buah hatinya. Sekalian
halalbihalal dengan keluarga kata mas Wawan memberi alasan pada kami.

Dengan menggunakan baju putih, sepatu putih dan rambut dikuncir berdiri menambah lucu wajah Lily yang selalu dalam gendongan mba Zia. Matanya berputar-putar melihat sekeliling yang begitu ramai yang setiap pandangan selalu tertuju padanya. Mungkin bingung, mungkin sedikit tidak mengerti ada apa gerangan dengan keramaian yang ada. Tapi dari sorot matanya terlihat Lily sangat menikmati suasana gempita itu dengan sesekali mengembangkan senyum dibibirnya.

Usai acara, mas Wawan yang sedari tadi berpesan padaku untuk mencarikan panti asuhan untuk berbagi rasa bahagia dengan memberi makanan dan kue pada anak-anak panti memastikan lagi.
“Fit, bagaimana? Panti Asuhan mana?” Tanya mas Wawan.
“Walah mas, ternyata musim lebaran begini sulit cari anak panti. Pada mudik itu mas. Sudah lebih dari lima Panti Asuhan yang dekat sini kuhubungi ternyata pada mudik. Masa’ cuman tiga atau lima anak aja. Hmmm……mana lagi ya..” sahutku sembari membolak balik catalog Panti Asuhan seSurabaya yang kudapatkan dari BKPPAIS beberapa waktu yang lalu. Benar-benar memudahkan kami dengan diterbitkan catalog Panti Asuhan seperti ini. Sangat bermanfaat. Benakku berguman sendiri dengan terus menyusuri nama-nama panti yang mesti kuhubungi lagi.

“Coba PA Al-JADID ini ya mas”
“Ya uda sembarang aja. Yang penting makanan ini bisa kita salurkan. Enggak menyangka liburan lebaran begini anak-anak panti juga pada liburan ke keluarganya.”
Alhamdulillah…ternyata di PA Al-Jadid masih ada anak-anak panti yang jumlahnya lebih banyak dari PA yang lainnya. Sekitar 22 anak termasuk dengan non panti yang tinggal di sekitar lingkungan panti. Begitu informasi yang kudapatkan dari pengasuhnya. Akhirnya kami pun menjatuhkan pilihan mengirim makanan dan kue pada PA Al-Jadid yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kami. Disamping itu mas Wawan juga mengajak menyebarkan snack yang masih banyak ke panti-panti yang lainnya. Mesti tidak ada anak panti, tapi kalau snack bisa bertahan lama. Jadi dititipkan pada pengasuh untuk diberikan pada adik panti saat mereka datang. Begitu mas Wawan memberi alasan padaku. Akhirnya malam itu bersama beberapa teman mas Wawan dan juga mas Yuda kami keliling ke panti-panti.

Haru menyapa kami saat sudah berada di tengah-tengah anak panti dengan segala kepolosan dan mimik yang mengundang empati kami. Kami berkumpul di mushola dengan membentuk lingkaran. Salam dan sedikit penjelasan kusampaikan pada adik-adik panti yang kebetulan malam itu pengasuhnya sedang mengisi pengajian di luar sehingga tidak bisa menemani kami. Hanya kami dan adik-adik panti. Dan itu membuat kami lebih leluasa memperhatikan mereka dengan segala tingkahnya yang masih polos, malu-malu dan salah tingkah dengan perhatian yang kami berikan.

“Kok gak mudik?” tanyaku.
“Tidak..” jawab salah satu dari mereka.
“Asalnya mana?” mas Agra teman mas Wawan turut bertanya
“Lampung.” Jawab yang lainnya.
“Ooo……jauh sekali. Apa karena asal kalian jauh itu yang membuat kalian tidak pulang?” tanyaku yang mulai tertarik untuk menyimak.
“Iya..” jawab mereka dengan polos. Terenyuh sekali hati kami mendengarnya. Disaat kami bisa berkumpul dengan keluarga di hari lebaran seperti ini, ternyata tidak bagi mereka. Mereka tetap dipanti. Mereka jauh dari keluarga, entah masih atau tidaknya orangtua mereka.

“Ada nggak yang saudara kandung disini?” Tanya mas Wawan yang sedari tadi diam dan kebanyakan menundukan pandangan. Sepertinya mas Wawan tidak begitu tega melihat mereka. Diam dalam lisannya, merintih dalam hatinya yang turut piluh tersentuh.
“Ada…ini sama ini..” jawab salah satu dari mereka dengan menunjuk pada dua anak yang satu laki-laki sebagai kakak dan yang satu perempuan sebagai adiknya. Dan hanya dia satu-satunya perempuan yang ada pada waktu itu. Dia selalu menunduk dan malu-malu. Selalu menjauh dari teman-temannya.

Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang terus bergantian kami lontarkan demi ingin lebih mengetahui mereka. Kamipun meminta mereka menyebutkan satu per satu namanya. Dan lagi-lagi sikap lucu yang mereka tunjukan dengan saling dorong mendorong untuk menutupi malu-malu dan salah tingkah mereka. Tidak jarang kami memberikan guyonan yang menyegarkan hingga gerrrr…..tawa kami turut menghiasi malam yang semakin larut dalam kepekatan. Dan kami sangat menikmati suasana itu dengan selimut haru yang masih setia menemani.
Selanjutnya kami berdoa bersama. Kami meminta barokah doa adik-adik panti untuk mengiringi keberkahan acara ulang tahun Lily. Khususnya keberkahan bagi keluarga mas Wawan dan mbak Zia sebagai sohibul hajat. Pelan-pelan kucoba melukiskan guratan doa untuk mas Wawan sekeluarga yang diamiini oleh semuanya. Kami tenggelam dalam hikmatnya harap yang kami gantungkan padaNYA ALLAH, Tuhan yang selalu memberi dan mengabulkan segala permintaan. Dzat yang Maha kaya, yang tiada pernah habis kekayaanNYA walaupun semua permintaan hamba-hambaNya dipenuhiNYA. Subhanallah...... Maha suci ALLAH dengan segala kemulyaanNYA.

Dirasa cukup, kamipun berpamitan pada adik-adik panti. Sebelum beranjak pergi mas Jun yang sedari tadi tidak begitu banyak komentar merogo saku dan mengeluarkan sejumlah uang dan diberikan pada salah satu anak panti yang lebih besar dengan sebelumnya berpesan untuk dibagi bersama yang lain.
Akh…….anak panti selalu menggugah hati dan jiwa. Dan memang selalu begitu. Mengetuk-ngetuk pintu hati siapa yang melihat dan memperhatikannya. Dan mereka yang mau membuka hati, pasti akan tergerak dan memberi. Yaa…….memberi dan berbagi dari apa yang telah Allah titipkan untuk kita miliki, gemingku dalam hati.

Kami tinggalkan PA Al-Jadid dan melanjutkan ke panti-panti yang lain yang sudah ditunjuk oleh mas Wawan untuk membagi snack yang masih seabrek. Malam yang indah di bulan Syawal ini. Ulang tahun Lily yang jatuh tepat tanggal tigabelas tepat jatuh di hari lebaran. Keberkahan Idul Fitri keberkahan untuk Lily. Semoga bisa menjadikan Lily kecil kelak menjadi seorang wanita yang sholeha dengan kuatnya iman dan ketaqwaan pada Allah Swt. Selamat Ulang Tahun Lily……………

******

Pelajaran di KA

Berjubel para penumpang yang berebut masuk membuat pintu gerbong kereta yang bersandar di stasiun KA di kota kelahiran Bung Karno inipun terasa sangat sempit walaupun hanya untuk satu badan orang. Kami memang sudah berencana di hari kedua lebaran tahun ini akan mengunjungi Eyang kakung dan Eyang Putri dengan naik KA. Dan hal yang tidak pernah kami rasakan sebelumnya kini kami mencoba menikmatinya meski dengan banyak rasa yang mengiringi selama perjalanan. Belum lagi bersamaan dengan hari mudik nasional yang membuat kami gerah karena kami harus berdesakan dan berjubel-jubel saling dorong. Sementara kemoloran jadwal keberangkatan kereta juga membuat kami merasa lebih lelah beberapa kali lipat ketimbang biasanya. Hal-hal yang terjadi di musim mudik seperti ini mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka yang sering mudik saat lebaran tiba. Sendangkan kami yang selama ini hanya menyaksikan di layar televisi, kini waktunya kami berperan sebagai pemainnya. Jarak yang bisa ditempuh selama empat hingga lima jam, jika waktu lebaran tiba akan bisa sampai delapan jam kami bergoyang-goyang diatas kereta yang pengap sesak dengan hiburan desah para penumpang dan aroma keringat yang bercampur parfum beraneka rasa. Wuiihh……..

Berbeda dengan saat kami berangkat kemarin. Karena kami mendapatkan awal keberangkatan kereta di stasiun semut. Dan dengan sengaja juga kami berangkat lebih pagi sehingga kami tidak begitu susah menemukan bangku kosong bagi ibu, mas Wawan, mbak Zia, juga aku sendiri. Sedangkan lili yang masih berusia satu tahun bergilir duduk dipangkuan kami menyesuaikan hasrat hati si kecil. Kami bergantian menghibur lili apabila telah kami tangkap mimik jenuh dengan pengap dan sesaknya gerbong KA yang tidak jarang berhenti begitu lama hanya untuk menurun-naikan penumpang ataukah hanya karena kres dengan KA yang lainnya.

Untuk kali ini setelah berhasil menerobos masuk kami berlahan bergeser menuju tengah gerbong yang sebenarnya juga sudah penuh para penumpang. Ibu di depan kemudian disusul mbak Zia dengan menggendong lily. Kuikuti di belakang dan mas Wawan yang tadi memberikan jalan kami menerobos para penumpang untuk memasuki pintu gerbong yang berdesakan kini mengawal kami dari belakang. Alhamdulillah akhirnya begitu sedikit bergeser ke arah tengah seorang bapak berdiri dari tempat duduknya mempersilahkan mbak Zia dengan lily untuk menempati tempat duduknya. Kami lega mengatahui hal itu dan tidak lupa mengucapkan terimakasih pada si bapak. Aku jadi ingat selama perjalanan berangkat kemarin, mas Wawan pun banyak melakukan hal demikian. Mesti dia sudah mendapatkan tempat duduk, begitu melihat ibu-ibu yang mengggendong bayi, mas Wawan langsung berdiri memberikan tempat bagi mereka. Sampai akhirnya mas Wawan sendiri tidak mendapatkan tempat duduk dan sesekali bergantian dengan kami atau dengan sedikit berdesakan hanya menempelkan pantat demi menghalau penatnya kaki. Dan sekarang, berganti kami yang tidak mendapatkan tempat duduk, dan kami menemukan orang –orang yang memiliki jiwa yang terpanggil hingga berkenan mengikhlaskan tempat duduknya untuk yang lain.

Mungkin tidak jarang hal demikian kita temui, tapi tidak sedikit juga kita menemukan orang-orang yang tidak mau berbagi apalagi mem beri dari apa yang dirasakan sudah menjadi milik atau haknya. Jika hati tak bergerak, maka tiada bisa kita berharap banyak tangan dan kaki untuk turut bergerak. Apalagi urusan dalam kebaikan. Tidak mudah menemukannya.

Aku sendiri berangsrut mendekati ibu yang berdiri di samping mbak Zia. Kuletakan tas besar miliku di rak atas tempat yang disediakan untuk barang-barang bawaan kami. Karena tanganku belum mencukupi untuk menjangkau rak, maka aku bergeser masuk di tengah tempat duduk para penumpang.
“Permisi bu, pak….nyuwunsewu…” permintaan ijinku sambil menebarkan pandangan kesekeliling. Sebagian mereka membalas dengan tersenyum dan anggukan. Sebagian cuek hanya melirik sekilas kearahku.
“Sini mas tas ranselnya tak naikan.” Kutawarkan pada mas Wawan. Akhirnya semua tas besar bawaan kami, sudah mendapatkan tempat. Kami lebih ringan walau berdiri kami hanya membawa tas mungil di tangan.
Jika waktu berangkat kemarin aku langsung duduk dan tidak begitu hiraukan dengan penumpang yang lain. Berbeda dengan waktu pulang. Dengan berdiri aku bisa melihat para penumpang hingga yang jauh berdiri maupun duduk. Entah mengapa, aku merasa nyaman dan senang dengan kondisi itu. Senyuman terus tersungging di bibirku menyaksikan pemandangan yang tidak tiap hari bisa kunikmati ini. Bersyukur aku ditempatkan Allah di tengah-tengah bangku duduk para penumpang, sehingga tidak terganggu dengan para penjual yang hilir mudik membelah para penumpang untuk menawarkan dagangannya. Sebagian ada yang menggerutu dengan ulah para pedagang yang main srodok hingga ada penumpang yang oleng karena tidak mampu menahan keseimbangan badan dengan guncangan kereta.

Di depanku seorang ibu dengan memangku anaknya mencoba memejamkan mata. Tapi malang, si anak yang semula tertidur pulas, malah terbangun dan merengek. Biji-biji keringat mengumpul di kening, leher dan lengan si anak. Gerah pasti jawaban yang tepat untuknya. Si ibu dengan mengguncang-guncang tubuh mungil itu memberikan botol susu yang diambil dari tas tentengnya.
“Kasihan bu, adhiknya gerah. Kipasnya mana bu….. boleh saya kipasin..” kucoba menawarkan diri.
“Tidak punya mbak.” dengan tersenyum ibu muda itu menjawab. Kucoba membantu dengan mengibas ibaskan tanganku. Tapi tentu tidak banyak angin yang kuhasilkan. Kutanggap ibu yang duduk di bangku belakangku memegang sebuah topi milik anaknya yang kebetulan tidak sedang dipakai.
“Bu..bisa pinjem topinya….. ini adhiknya kasihan. Kepanasan……keringatnya banyak sekali.” Pintaku pada ibu tersebut.
“Oo…iya mbak…silahkan”
“ Terimakasih.”

Kuraih topi itu dan kugunakan untuk kipas-kipas adhik kecil yang ada di depanku. Ibu muda itu tersenyum melihat ulahku. Kami saling tersenyum dengan menyaksikan si kecil yang mulai tenang. Tenang yang dia rasakan, ternyata menular pada kami yang memperhatikannya. Kami pun turut lega dan tenang. Sudah tidak rewel dan tidak merengek-rengek lagi. Nikmat dan bahagia yang kurasakan semakin membunca kala bisa turut berbagi dengan yang lain. Ternyata dengan bersama yang lain dan mau membagi walaupun itu sedikit, jika dilakukan dari dalam hati akan luar biasa rasa yang timbul untuk kebahagiaan jiwa. Kubandingkan dengan saat perjalanan berangkat aku lebih banyak duduk dan tidur. Sibuk dengan diriku sendiri. Tidak begitu banyak memberi manfaat bagi orang lain. Dan disaat diri bisa memberi manfaat bagi yang lain, disana satu makna terlukis indah yang menyembulkan rasa bahagia dari dalam hati. Hmmm……Alhamdulillah ya Allah…. Saya bisa merasakan nikmat kala bisa memberi manfaat bagi yang lain. Sehingga menolong, membantu dan menjadi jalan demi kebaikan orang lain adalah satu kesenangan bukan jadi satu beban. Alhmdulillah…….hatiku berbisik dalam senyuman.

Disisi lain kulihat mas Wawan berdiri disamping ibu. Kebanyakan kulihat mas Wawan memeluk ibu untuk melindungi ibu dari dorongan penumpang lain atau para pedagang yang lalulalang. Ibu sendiri satu tangan memegang sandaran kursi sedangkan satu tangan memegang lengan mas Wawan. Sesekali mereka bercakap-cakap. Dan mas Wawan sering bercanda hingga kami tertawa geli. Panasnya gerbong kereta terkalahkan dengan hangatnya kebersamaan kami yang tidak setiap hari berkumpul. Hanya kurang lebih satu minggu mas Wawan dan mbak Zia berlibur ke Surabaya di lebaran kali ini. Sebentar lagi mereka meninggalkan kami dan kembali ke Bali tempat pilihan merantau mereka. Tak heran ibu terlihat senang dan bahagia bisa berkumpul bersama-sama mesti tidak semua anaknya bisa berkumpul. Mas Edi, mas Hari, dan Mbak Cici untuk tahun ini belum bisa ke Surabaya. Semoga untuk tahun depan kami bisa berkumpul. Itu harapan ibu yang selalu diucapkan padaku.

Di stasiun Tulungangung tempat duduk depan mas Wawan dan ibu berdiri penumpangnya turun. Ada tiga bangku kosong disana. Ibu memanggilku untuk menempati tempat duduk tersebut. Mbak Zia dan Lily juga akhirnya berpindah tempat duduk dekat kami. Alhamdulillah…akhirnya kami mendapatkan tempat duduk hingga kami tidak perlu berdiri selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih delapan jam.
Kusandarkan punggung dan melihat keluar jendela. Rumah-rumah penduduk berlarian menjauh dan tertinggal. Sedang kereta terus melaju kencang dan tetap berada dalam rel. Pandanganku menerawang dengan pikiran melayang mencoba merenungi ayat-ayat Allah yang terhampar ‘ehmm….coba kalau kereta ini berjalan di luar rel yang sudah ditentukan..... pasti sudah kacau dan gak mungkin sampai pada tujuan. Mungkin itu satu gambaran buat umat manusia. Barang siapa yang hidupnya berjalan di luar rel yang telah Allah tentukan pasti akan kacau dan tidak akan pernah sampai pada tujuan. Namun barang siapa yang berjalan dalam rel-rel yang telah Allah tetapkan, maka dialah yang selamat. Tapi… Sayang banyak orang yang tidak menyadari hal itu.

Ya….Allah…...
Semoga Engkau beri kekuatan kami untuk selalu berjalan di rel-rel yang telah Engkau tentukan.
Semoga kami tidak akan pernah melangkah menjauh atau bahkan meninggalkanMu.
Engkaulah tujuan kami ya Allah…….
Engkau tujuan kami …..
Tuntun dan bimbing kami untuk bisa sampai padaMu
Jangan kami terbelokan oleh yang lain
Jangan kami telena dengan nikmat dan ujian walaupun itu datangnya dariMu dan suruhanM….
Karena itu bukanlah tujuan kami. ….
Hanya Engkau ya Allah………..hanya Engkau tujuan kami
Dan hanya Engkau pulalah yang bisa membawa kami sampai padaMu
Lahaulawalahuata ilabillahil aliyil a’dhiim….
Lahaulawalahuata ilabillahil aliyil a’dhiim….
Hasbiallah…..Hasbiallah…..Hasbiallah..
Alaihi tawakaltu wahuwa rabbul arsyil adhiim…

****

Selasa, 09 Oktober 2007

Surat untuk si Yatim




Pagi ini sangat ringan bagiku melangkahkan kaki untuk berangkat ke kantor. Ada bulir-bulir bahagia yang tidak kutahu darimana datangnya, namun sangat jelas kurasakan. Hmm...bukankah itu anugerah dariNya. Alhamdulillah....ya Allah. Kumasuki ruang kantor dengan semangat lalu kusampaikan salam yang dibalas oleh teman sekantor dengan tidak kalah semangatnya..

“ Fit ada surat dari yayasan tuh. Sepertinya laporan pendidikan anak asuhmu.” Yulia memberitahu dengan menyodorkan amplop warna coklat.
“ Wong..anak asuhmu sudah gadis gitu lho. usianya saja sembilan belas tahun tapi masih kelas empat SD.. mbok gak usa disekolahkan. Dinikahkan saja. Hehehe....” Rita menggodaku.
“ Iya nih... masa anak sama ibu kok besaran anaknya. Bukan anak asuh itu namanya...tapi mbak asuh.hehehe...” Yulia pun tidak mau kalah turut meledekku.
“ Hehehehe..iya..” sahutku cengar cengir.

Kemudian kubuka amplop yang sudah berada ditanganku. Kususuri kata demi kata untuk menemukan makna yang tersurat. Nilai-nilainya lumayan bagus. Bahasa Indonesia sepuluh, Matematika sembilan, IPA sembilan, Tajwid Sembilan, Tareh delapan, I'lal delapan. Rata-rata bagus. Kulanjutkan membacanya hingga sampai pada kolom SALAM yang diisi langsung oleh anak asuh. Tertulis “ Ibu aku ucapkan terimakasih tak ada batasnya. Ibu telah menambah semangatku untuk tetap disini. Ibu aku doakan semoga ada balasannya.”

Jantungku berdetak lebih keras dari biasanya. Yang kurasakan bukan tulisan tangan milik si yatim, tapi seakan-akan Allah mengingatkanku dari tulisan itu betapa selama ini tiada yang kulakukan selain menyisihkan sedikit rejeki untuknya. Tiada kata, tiada salam, juga tiada jumpa apalagi jabattangan atau pelukan mesra.

Astaqfirullahala'dhiim.. hampir terlupakan dirinya dari benaku ya Allah. Maafkan aku... yang terlalu sibuk dengan banyaknya hal, hingga hampir saja kuabaikan dirinya disaat menjelang lebaran tiba begini. Sama sekali tidak kupunya rencana untuknya. Maafkan aku ya...Allah...maafkan.

Sepulang kerja langsung kusiapkan bingkisan untuk anak asuh yang hampir saja kulupakan. Bakal baju dan alat-alat tulis sudah kusiapkan. Lalu kuselipkan sepucuk surat yang sudah kubuat sebelumnya. Berperan sebagai ibu bagi sang anak yang merindukan belaian demi sejuknya hati dan jiwanya.

Bissmillahirahmanirrahiim....
Assalamu'alikum WrWb

Homsatun anakku yang manis...
Bagaimana kabarmu nak..? Puasanya lancar kan? Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan dalam hidupmu.

Homsatun anakku.....
Dengan kerendahan hati ibu mohon maaf ya sama kamu. Selama ini ibu terlalu sibuk dengan yang lain hingga kurang begitu memperhatikan kamu.Maaf ya sayang...
Di bulan suci yang penuh Rahmat ini, Allah telah mengingatkan ibu melalui goresan penamu. Kamu menuliskan bahwa ibu telah menambah semangatmu untuk tetap tinggal di panti. Ibu malu sayang...dengan tulisanmu itu. Padahal Ibu tidak melakukan apa-apa untukmu. Maaf ya...

Homsatun anakku...
Kamu yang Sabar ya sayang tinggal di panti sama teman-teman. Belajarlah yang rajin demi masa depanmu. Jangan lelah untuk terus berdoa... Allah itu Maha kasih dan mencintai hamba-hambaNya yang beriman. Jaga Allah di hatimu ya nak.... Jangan menjauh dariNya, melainkan mendekatlah karena kekuasaan itu milikNya, keagungan itu milikNya, kemuliaan itu milikNya, kekayaan itu milikNya dan kelembutan itu juga milikNya. Dia yang Maha memiliki semua yang ada. Mohonlah pada Allah agar kamu kuat iman. Jangan karena keadaan yang ada membuat kamu merendahkan Allah ya sayang... Selama Homsatun rajin beribadah, menjalankan sholat, puasa serta berbuat baik. Allah pasti sayang sama Homsatun.Beneeer..
Yakinlah akan jaminanNya...

Homsatun yang dicintai Allah...
Jangan berkecil hati dengan yatim yang kamu sandang ya nak. Bukankah Rosulpun terlahir yatim.Bukankah Rosul itu Ayah bagi si Yatim. Bukankah Rosul sangat menyayangi Yatim.. Berbahagialah dirimu mempunyai ayah semulia Rosulullah.Jangan rendah hati sayang.. semua manusia dimata Allah sama. Hanya iman dan ketaqwaan yang membedakannya. Barang siapa baik ketaqwaannya, maka dia baik dimata Allah. Semoga Homsatun bisa menjadi hamba Allah yang baik yang selalu mendapat naungan Rahmat dan Ridho Allah Swt. Mendekat terus sama Allah ya sayang.. Banyak baca Al-Qur'an biar hatimu terang. Banyak ingat Allah biar hatimu tenang.

Homsatun sayang...
Kamu tidak sendiri dalam hidup ini. Kamu tahu nak... ibu juga sama denganmu. Di usia kedelapan tahun ibupun telah yatim. Kita sama. Tapi kita tidak boleh terus bersedih. Yakin akan kasih sayang Allah ya sayang. Allah tidak akan meninggalkan kita selama kita tetap memegang amanahNya. Apa sih amanah yang Allah berikan pada kita? Masih ingat sayang? bukankah Allah berfirman bahwa tidak KUciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah padaKU.
Sayang..... ibadah itu amanah dari Allah. Kita mesti menjalankannya. Ibadah bukan hanya sholat, bukan hanya baca Al-Qur'an ataupun puasa. Kamu berbuat baik juga ibadah sayang. Kamu membantu teman yang membutuhkan pertolongan juga ibadah. Tersenyum juga ibadah lho.. Selama semua yang kita lakukan itu karena mengharap Ridho Allah akan bernilai ibadah.


Homsatun yang manis....
Banyak bersyukur ya.. biar Allah menambah nikmatNya atas kamu.Dan satu lagi...jangan mudah marah ya sayang. Belajar menerima setiap pemberian Allah dengan lapang dada. Juga belajar tidak mengeluh ya sayang. Ibu juga sedang belajar untuk itu semua. Kita belajar bareng-bareng ya.. Semoga Allah memberi kekuatan pada kita untuk bisa lebih baik dari saat ini. Semoga Allah memberikan seberkas cahaya CintaNya untuk kita sehingga kitapun mampu mencintaiNya.Amien...

Homsatun anakku....
Sudah dulu ya..suratnya. InsyaAllah lain kali kita sambung lagi. Jaga dirimu baik-baik. Jaga hatimu dari selain Allah. Kamu sudah beranjak remaja...kamu harus hati-hati. Sabar ya sayang...dan Janganlah bersedih karena Allah selalu bersamamu. ;o))

Wassalamu'alaikum WrWb
Ibu Asuhmu,
Fitri Islami

Bergetar hatiku kala membaca ulang surat itu. Ya Allah...kutulis surat ini dengan sepenuh jiwaku...semoga bisa menyentuh, membelai dan menyejukan jiwanya harapku dalam diam. Kulipat dan kumasukan kedalam ampop. Kemudian kusisipkan dalam bingkisan yang sudah kusiapkan. Dan tak ketinggalan uang saku lebaran untuknya. Lalu kutitipkan bingkisan itu pada petugas yang kebetulan berkunjung di kantor.
Anakku....Terimalah bingkisan itu dengan segenap harapmu yang tertunda. Dan maafkan ibu...
****

Selasa, 11 September 2007

Bersihnya Hati

Pagar rumah yang terkunci rapat, terlihat seolah -olah tiada penghuninya di rumah besar itu. Ku buka tas bagian depan untuk mencari sebuah kunci yang kumaksud. Setelah membebaskan gembok dari ikatan pagar, kubuka lebar hingga motorku pun bisa memasuki teras rumah. Terdengar dari dalam pintu rumah berbunyi tanda penghuni rumah melepaskan kunci lalu membukanya.“Assalamu'alaikum...” ku sampaikan salam“Wa'alikumsalam.... Aduhh nak...! ibu hari ini dapat teguran dari Allah. Wahh... seru poko'nya. Memang kesalahan ibu ini nak” jawab ibu diiringi deretan cerita yang sepertinya sudah sedari tadi ditahan untuk disampaikan. Kuhampiri beliau lalu kucium tangannya. Lalu kami memasuki rumah dengan tangan kami yang belum terlepas.
Selengkapnya>>

Ibu.... Fitri sayang Ibu...

Lembut sentuhan embun pagi ini berlahan menerobos kecelah pori-pori tubuhku. Dingin yang terasa, bahkan bisa diakatakan sangat dingin. Memang akhir-akhir ini cuaca di kota kelahiranku ini terasa dingin bagaikan kota-kota pegunungan. Padahal kota ini terkenal dengan panas yang menjadi kuasa alamnya. Mungkin karena pergantian musim. Peralihan musim dingin yang sebentar lagi akan meninggalkan sedangkan musim panaspun telah siaga dengan gagahnya hendak menyapa. Itulah aturan alam yang terus berputar dan mewarnai bumi termasuk kota ini. Walaupun warna warninya sudah mulai sulit untuk bisa dipahami, tapi toh tetap berwarna. Hmm....indahnya... Alhamdulillah....
Selengkapnya>>

Resah... zikir aja

Kubuka jendela kamar lalu kubiarkan angin malam menerpa wajahku. Hawa sejuk menyelinap dalam tubuhku yang kata kebanyakan orang sangat kurus. Padahal menurutku tidak kurus-kurus amat sih. Tapi ya...begitulah keadaannya.
Selengkapnya>>

Dhuhur Yang Sejuk

Dentam musik yang keluar dari soundsystem di tepi jalan itu hampir-hampir merobek-robek gendang telingaku. Namun toh begitu, kuikuti juga alunan lagu itu dengan hentakan kakiku di lantai ruang tamu rumah seorang sahabat. Memang sedang ada acara tasyakuran pada saat itu. Ditengah kebisingan dan gaduh semua orang yang mempersiapkan acara, kucoba belajar tetap mensunyikan hati bersama Allah di setiap getaran hatiku. Sesekali lepas dalam kealpaan, lalu kutegakkan lagi bersamaNya. Begitu dan begitu diriku berlatih mencoba untuk mempertahankanNya terus bersemayam di bilik yang sunyi dalam keramaian dan ramai dalam kesunyian.Seorang gadis manis dengan kulitnya yang putih bersih duduk berhadapan denganku. Kunikmati pemandangan indah anugerah Allah yang telah memahat begitu cantik wajah di balik kacamata minus itu. Dengan kerudung warna pink dan style baju anak muda zaman sekarang menambah pesona yang gemerlap, dan pastilah banyak para lelaki yang menggandruinya pikirku.
Selengkapnya>>

Akh Pantas Kenyang

Kutundukan pandanganku dalam-dalam seakan ingin kumasuki pori-pori lantai ruang tengah itu. Begitu ramai suara yang berisik di dalam benakku. Ada penyesalan, ketakutan, keresahan, kegetiran, kegelisaan, juga kebingungan, semua tertumpuk dan diaduk-aduk menjadi satu. Mungkin kalo Gado-gado masih enak rasanya, tapi ini perasaan yang bergemuruh di hatiku yang tak kunjung mau berhenti. Akh.....dasar bodohnya aku ini..sesalku dalam diam.
Selengkapnya>>

Jumat, 24 Agustus 2007

Bersihnya Hati

Pagar rumah yang terkunci rapat, terlihat seolah -olah tiada penghuninya di rumah besar itu. Ku buka tas bagian depan untuk mencari sebuah kunci yang kumaksud. Setelah membebaskan gembok dari ikatan pagar, kubuka lebar hingga motorku pun bisa memasuki teras rumah. Terdengar dari dalam pintu rumah berbunyi tanda penghuni rumah melepaskan kunci lalu membukanya.
“Assalamu'alaikum...” ku sampaikan salam
“Wa'alikumsalam.... Aduhh nak...! ibu hari ini dapat teguran dari Allah. Wahh... seru poko'nya. Memang kesalahan ibu ini nak” jawab ibu diiringi deretan cerita yang sepertinya sudah sedari tadi ditahan untuk disampaikan. Kuhampiri beliau lalu kucium tangannya. Lalu kami memasuki rumah dengan tangan kami yang belum terlepas.

“Emangnya ada apa bu...?” sahutku melepaskan tangan sambil menuju ruang tengah dan menjatuhkan tubuh ke sofa.
“Hp ibu hilang fit.”
“Lho..!! bukannya tadi pagi ada di meja ruang tamu? Fitri lihat lho bu..?”
“Iya...memang tadi di situ. Ibu lupa menaruhnya di kamar. Dan tadi itu ada seorang pengemis perempuan muda sambil gendong anaknya. Tapi ibu gak berani shuudon denganya. Masak dia... wong lihat wajahnya itu sepertinya gak mungkin kalau dia itu nak...!”
“Lha yang di rumah siapa saja?”
“Yaa...cuma ibu, mas Yuda, Eyang putri juga Eyang kakung. Kalau orang luar ya...cuma pengemis perempuan itu nak. Tapi masak itu ya..? Waktu pengemis itu datang sih yang dirumah cuma ada ibu dan Eyang putri. Dan lagian memang mencurigakan sih nak, pengemis itu langsung saja membuka pagar lalu duduk di depan pintu. Wong belum di suruh masuk juga sudah masuk. Habis itu ibu ambilkan minum untuk dia. Masak waktu itu ya dia nyelonong masuk ambil Hpnya? Tapi ibu gak berani berburuk sangka padanya.
Untuk hilangnya Hp sih ibu enggak terlalu menyesal. Enggak geton gitu lho nak. Ibu merasa itu teguran dari Allah karena seharian tadi ibu sibuk dengan tanaman Anggrek ibu, sampai lupa sholat Dhuha. Ibu enggak ingat sama sekali. Hp di situ juga enggak ingat. Baru tadi sore ibu habis sholat asyar ibu mau pakai telepon, baru ingat. Baru ketahuan ilangnya” Cerita ibu panjang lebar

“Kalau coba dihubungi bagaimana?”
“Sudah.......dicoba sama mas Yuda, tapi tidak aktif. Ini semua salah ibu. Sebenarnya ibu sudah ikhlaskan, tapi gak tau kok ya masi kepikiran.” kata ibu sambil membetulkan kacamatanya yang turun.
“Ini bisa dibilang teguran sekalian ujian buat ibu karena Allah sayang sama ibu..?”
“Lho kok bisa sih nak...gimana..gimana maksudnya?”
“Kalau dibilang teguran bisa, biar ibu jangan terlalu asyik dengan apa yang dikerjakan sehingga melupakan Allah. Bisa juga di bilang ujian demi meningkatkan kwalitas keimanan ibu, lalu dilihat bagaimana ibu dalam menghadapi kehilangan ini. Apa ibu marah, sedih, kecewa atau bagaimana? Dan saya lihat ibu tidak seperti itu. Jadi InsyaAllah Ibu nilainya bagus dech. Hehehe....selamat ya bu...”
“Oohh...gitu ya nak..Alhamdulillah..”

Kusandarkan punggunggku tuk hilangkan sedikit keletihan dari seharian sibuk di kantor.
“Ada sebuah riwayat bu yang pernah saya baca dari suatu buku. Ada seorang murid yang bercerita pada gurunya dengan penuh rasa kagum bahwa dia telah melihat orang sakti yang bisa berjalan di atas air. Sedangkan sang guru tidak terlihat kagum atau bagaimana. Lalu si murid bercerita lagi bahwa orang tersebut bisa terbang. Tapi sang guru tetap tidak menunjukan ekspresi yang terpukau. Lalu si murid dengan rasa penasarannya bertanya pada gurunya mengapa sang guru sama sekali tidak kagum atau sejenisnya.Sang gurupun menerangkan bahwa tiada pernah heran melihat orang yang berjalan di atas air karena ikan pun begitu. Untuk terbang di udarapun burung juga bisa. Dan semua itu golongan Jin dan Iblis dengan mudah melakukannya. Sang guru meneruskan keterangannnya bahwa dia akan kagum apabila menemukan orang yang memiliki sesuatu , lalu sesuatu itu hilang dan dia tidak menunjukan perubahan exspresi kekecewaan dan tetap dalam kehambaannya pada Allah.” ceritaku pada ibu yang terlihat sedikit kebingungan
“Jadi maksudnya bagaimana ya nak? Kok bisa kagum dengan orang yang tidak sakti”
“Yaa...berarti kan orang itu bisa sabar menerima ketentuan yang paling tidak enak yang telah diberikan Allah padanya. Dia telah mendapat Ridho Allah bu... dan InsyaAllah ibu pun begitu karena ibu tidak merasa sedih, kecewa ataupun marah dengan kehilangan Hp itu. Namun kalau bisa jangan cuman Hp aja yang bisa kuat ya bu....semuanya yang kita rasa kita miliki ini. Karena Hakekatnya semua ini kan titipan. Bukan milik kita, tapi milik Allah. Sebagaimana yang pernah saya baca bahwa keimanan yang sempurna itu keimanan yang merasa tidak memiliki dan dimiliki oleh apapun kecuali Allah. Jadi suatu saat jika di ambil ya...kita gak boleh protes baik dalam bentuk apapun dan jika kita mendapatkan sesuatupun kita meyakini itu semua dari Allah semata oleh karena itu layaknya kita syukuri. Waahhh jadi kepanjangan ya bu... Jadi malu nih, kaya' udah kebeneran saja..”

Senyum ibu merekah bagai bunga di depan rumah. “Eii...enggak papa nak, ibu malah suka kalau kamu cerita seperti itu. Kamu kan bisa belajar jadi ustadzah.”
“Jauuhhh bu... lagian gak berani mimpi. Saya cuma pingin jadi hamba Allah yang bener saja dech. Belajar tidak selingkuh menjadi hamba selianNya. Karena itu fitri terus belajar supaya bisa setia sama Allah. Hehehehe...” sahutku sambil menyalakan Televisi.
“Ada lagi lho cerita yang lucu nak, sudah ibu habis kehilangan HP. Ee...tadi sore ada orang laki parubaya mondar mandir di depan rumah sambil lihatin rumah kita ini terus. Ya..tentu saja ibu sedikit takut. Akhirnya ibu coba beranikan diri untuk menegurnya. Ternyata dia itu lagi sakit perut mau ke belakang. Mau numpang tapi sungkan.” cerita ibu meneruskan

“Terus...ibu kasih ijin enggak?” Tanyaku penasaran sambil mengarahkan pandanganku menatap lekat mata wanita tua di hadapanku penuh kecemasan.
“Iya ta kasih ijin nak, kan kasihan.. ibu itu membayangkan betapa sakit perutnya yang menahan mau kebelakang. Wong ibu lho pernah mengalaminya. Waktu jalan-jalan sama Ayah, ibu terasa pingin kebelakang. Dan ibupun cari tumpangan. Gitu aja rasanya seneng banget ada yang mau memberi tumpangan.”
“Alhamdulillah..... Ibu hebat...bener-bener hebat.”
“Lho?! Kenapa nak? Wong gitu aja kok hebat. Wong kasih tumpangan saja kok hebat.”

“Yee...ibu kok gak peka sih. Di sini saya melihat betapa Allah telah mendatangkan orang itu untuk menguji ibu kedua kalinya. Begini, ibu kan habis kehilangan HP. Itupun dengan adanya peristiwa pengemis perempuan yang aneh dan mencurigakan. Ibu tidak berani Shuudhon dengannya dan mencoba menghilangkan perasangka-perasangka buruk padanya itu sudah bagus. Dan ibupun tidak kecewa, sedih ataupun marah dengan kehilangan HP, itu lebih bagus lagi. Lalu Allah masih ingin menguji ibu kesekian kalinya dengan mengirimkan orang yang sakit perutnya dan numpang ke belakang. Intinya cuman satu bu, setelah sederetan cerita di awal apakah ibu masih tetap menjaga hati ibu untuk tidak menorehkan nota hitam di hati ibu dengan berburuk sangka pada orang lain?? Jarang bu, orang yang habis kehilangan itu dengan muda memberi kepercayaan pada orang asing. Kebanyakan bawaannya curiga melulu. Tapi, ternyata ibu mengijinkan orang tersebut untuk kebelakang, dan ibu sama sekali tidak menaruh curiga. Itu lebih dari hebat bu....T.O.P B.G.T istilahnya .. TOP BANGET... Berarti hati ibu bener-bener terjaga dan bersih. Subhanallah........Saya kagum sama ibu. Alhamdulillah ya Allah...” Rasa kagumku tidak terbendung lagi hingga tanpa terasa genangan air sudah memenuhi kelopak mataku. Kuraih tubuh wanita tua itu dan kami pun berpelukan.
Ya..Allah, semoga Engkau selalu memberi kekuatan kami untuk tetap teguh denganMu. Bertahan dalam kesabaran disetiap kemauan dan kehendakMu atas kami. Beri kekuatan kami ya Allah, untuk menyadari bahwa semua hakekatnya adalah diriMu yang ada. Bukan kami, bukan yang lain melainkan diriMu. Engkau yang memberi Ujian dan Engkau pula yang memberi kekuatan. Terimakasih ya Allah....terimakasih.

Kutinggalkan ibu dengan kesibukannya. Dengan berlari kecil kusambar handuk lalu menuju kamar mandi. Sebentar lagi Adzan mahgrip berkumandang dengan suaraNya yang menggetarkan. Begitu terasa indah undangan itu bagi kita hamba-hambaNya. Semoga kita memenuhinya dengan melepaskan semua kebisingan dunia yang kemudian tenggelam dalam asyiknya bercengkrama denganNya. Labaikallah...hummalabaik.....

********


Sumber: (Cerpen Harian)

Ibu……………Fitri Sayang Ibu

Lembut sentuhan embun pagi ini berlahan menerobos kecelah pori-pori tubuhku. Dingin yang terasa, bahkan bisa diakatakan sangat dingin. Memang akhir-akhir ini cuaca di kota kelahiranku ini terasa dingin bagaikan kota-kota pegunungan. Padahal kota ini terkenal dengan panas yang menjadi kuasa alamnya. Mungkin karena pergantian musim. Peralihan musim dingin yang sebentar lagi akan meninggalkan sedangkan musim panaspun telah siaga dengan gagahnya hendak menyapa. Itulah aturan alam yang terus berputar dan mewarnai bumi termasuk kota ini. Walaupun warna warninya sudah mulai sulit untuk bisa dipahami, tapi toh tetap berwarna. Hmm....indahnya... Alhamdulillah....

Jam berbentuk daun yang duduk manis di atas Televisi menunjukan pukul 07.15. Ku sambar tas kerja yang nongkrong di sisi pembaringan lalu bergegas menuruni anak tangga. Di ruang tengah terlihat wanita tua dengan kaca matanya yang sedikit melorot sedang asyik membaca kitab suci Al-Qur'an dan sesekali melirik terjemahan Inayah di sampingnya. Ibu memang rajin mempelajari arti ayat-ayat Al-Qur'an. Setiap hari selepas sholat subuh ibu mengikuti pengajian tafsir di Masjid Al-Islam yang tempatnya + 800 meter dari rumah. Selepas pulang mengaji ibu sibuk sebentar menyiapkan sarapan untukku. Dan sambil menunggu saya turun, ibu selalu menyibukan diri dengan mengulang-ngulang pelajaran yang baru didapatkan tadi. Apalagi bila menjelang akan diadakan ulangan, pasti ibu lebih terlihat banyak membolak-balik Al-Qur'an dan berguman sedikit keras untuk menghafalkannya. Bahkan sering terjadi ibu pada malam hari sengaja bangun lebih awal dari kami untuk belajar menghafal dan memahami Ayat-ayat yang akan di soalkan besok paginya. Di usia kepala 6 inipun sosok ibu masih tekun dan rajin mempelajari kitab suci itu. Memang tiada kata terlambat untuk mempelajari 'kata kunci' dari kehidupan yang telah Allah berikan bagi hambaNya di dunia ini. Rasa kagum dan haru menerobos begitu saja dalam bilik kalbuku. Hmm..yang tua begitu rajin, dan giat belajar, menghafal dan memahami kalam-kalam Allah Swt. Sedangkan aku..? Rasa malu kini yang menyapaku tanpa tanggung-tanggung. Ibu...ibu...semoga saya bisa meniru dan mewarisi semangatmu.

“ Ibu....!” sapaku sambil berlalu menuju teras menghidupkan motor dan kembali lagi menghampirinya.
“Ayoo nak, sarapan. Di tunggu ibu dari tadi kok gak turun-turun” sahut ibu sambil menutup kitab suci.
“ hehehe...” balasku sambil beranjak menuju lemari makan.
“Wahhh ada nasi goreng. Kapan belinya bu?” tanyaku
“Kemarin malam mas yuda yang belikan. Ibu lapar banget jadi nyuruh mas yuda beli. Sudah ibu hangatkan kok nak. Ayoo di makan berdua. Kalau sama fitri kan pas. Kalau di makan bertiga sama Hera ya gak cukup. Tapi Hera kan tidak pernah mau sarapan.” ibu menjelaskan.
Kami pun makan sepiring berdua. Sambil sesekali ngobrol kesana kemari.

Selesai sarapan aku pamitan berangkat kerja. Ku gapit tangan tua itu lalu kucium. Ini saat-saat yang kusuka. Saat mengukir kalbu dengan panjatan doa untuk mengiringi setiap langkah kakiku begitu keluar dari pagar rumah.
“Saya berangkat kerja ya Bu...”
“Iya nak, ibu doakan semoga Allah selalu menjagamu, menjaga hatimu, menjaga lisanmu, menjaga matamu, menjaga emosimu.mengabulkan apa yang kamu cita-citakan” berderet harapan-harapan mengalir dari bibir tua itu dengan tulus. Dan hal itu setiap hari selalu mengalir dan mengalir untuk memenuhi sungai-sungai dalam hatiku hingga bermuara di lautan tanpa batas.
“ Amien...amien.....”sahutku turut serta menggantungkan harapan padaNya
“Terimakasih ya bu...Ibu dirumah hati-hati. Jangan sibuk dengan tananaman aja, nanti jadi lupa sholat dhuhanya. Fitri doakan juga, semoga keinginan ibu naik haji segera dikabulkan Allah” balasku.
“Amien....” ibu menyambut dengan haru. Kutangkap bias matanya yang berkaca-kaca. Ibu memang sangat ingin berangkat haji. Karena itu ibu mulai ikut membuka tabungan haji di BRI dengan harapan bisa menyisihkan rejeki yang di dapatnya dari pensiun tiap bulannya.
“ Assalamu'alaikum...” kusampaikan salam padanya
“ Wa'alaikumsalam....hati-hati nak....” ibu menjawab diiringi senuyumnya sembari menutup pagar rumah.

Akhhh....indahnya hidup yang telah Engkau berikan ini ya Allah...dengan sosok Ibu yang penuh kasih tiba-tiba telah Engkau hadirkan dalam kehidupanku. Masih teringat saat pertama-tama kami bertemu. Di masjid Al-Islam pagi itu, waktu pertama kali kuikuti pegajian tafsir. Allah telah menentukan takdirNya padaku untuk duduk berdampingan dengan beliau. Selepas pengajian kami melanjutkan percakapan untuk saling kenal. Hingga ibu menawarkan untuk tinggal di rumahnya. Karena ibu tinggal sendirian setelah Ayah meninggal setahun yang lalu. Sedangkan anak-anak beliau sudah berumahtangga dan tinggal di luar kota. Sementara yang bungsu tinggal di Surabaya, itupun sudah memiliki rumah sendiri. Begitu melihat lokasi rumah yang dekat dengan masjid, aku langsung senang dan menyetujuinya.

Sejak itu hari-hariku terasa lebih indah. Sebaris senyum yang selalu menyapaku dari bibirnya pun turut menyejukan hari-hariku. Kami selalu sholat ke masjid bersama, selepas mahgrip mengajar ngaji anak-anak sebentar lalu kami makan bersama sambil bercerita banyak hal. Dan bila malam telah menyelimuti kami, ibu yang paling sering terjaga lebih awal. Dengan sabar beliau menitih anak tangga menuju kamarku untuk membangunkan guna sholat malam. Masih teringat beberapa hari yang lalu kala ibu membangunkanku, kulihat pukul 02.00 malam sedangkan rasa kantuk masih merangkul erat mataku hingga akupun tertidur kembali. Dan pukul 03.00 ibu dengan sabar dan senyumnya yang mengembang membangunkanku lagi. Alhamdulillah.... sesungguhnya hanya Engkau yang menggerakkan dan memapahnya ya Allah.
Terimakasih...terimakasih ya Allah. Dan terimakasih juga untukmu ibu. Sebaris harap kucoba gantungkan padaNya, semoga Allah mengasihi dan mencintai ibu melebihi kasih dan cinta yang telah ibu berikan padaku. Amien...amien.....amien...
“Ibu...fitri sayang ibu... semoga kita bisa berangkat haji bersama-sama....”
;o)).
*********
(sumber: cerpen harian )

Kamis, 23 Agustus 2007

Fitri Islami




MF to capa ya.....

Dhuhur yang Sejuk

Dentam musik yang keluar dari soundsystem di tepi jalan itu hampir-hampir merobek-robek gendang telingaku. Namun toh begitu, kuikuti juga alunan lagu itu dengan hentakan kakiku di lantai ruang tamu rumah seorang sahabat. Memang sedang ada acara tasyakuran pada saat itu. Ditengah kebisingan dan gaduh semua orang yang mempersiapkan acara, kucoba belajar tetap mensunyikan hati bersama Allah di setiap getaran hatiku. Sesekali lepas dalam kealpaan, lalu kutegakkan lagi bersamaNya. Begitu dan begitu diriku berlatih mencoba untuk mempertahankanNya terus bersemayam di bilik yang sunyi dalam keramaian dan ramai dalam kesunyian.
Seorang gadis manis dengan kulitnya yang putih bersih duduk berhadapan denganku. Kunikmati pemandangan indah anugerah Allah yang telah memahat begitu cantik wajah di balik kacamata minus itu. Dengan kerudung warna pink dan style baju anak muda zaman sekarang menambah pesona yang gemerlap, dan pastilah banyak para lelaki yang menggandruinya pikirku.
“Nisa...Kamu ini anaknya kalem ya. Udah kalem cantik lagi. Komplit rasanya” kataku padanya. Dia tersenyum manis lalu menunduk sebentar lalu membalas tatapanku.
“ Ya...kelihatannya aja mbak. Saya itu orangnya gampang marah mbak. Enggak seperti kelihatannya” dengan polos dia mengaku
“Akh...masak....?”
“Iyaa...akhir-akhir ini saja alhamdulilah saya sudah mulai belajar untuk menahan rasa marah itu. Kalau melihat hal yang gak cocok di hati gitu sudah bawaannya uring-uringan. Huuhhhh....sebel gitu lho mbak. Wong teman-teman saya banyak yang bilang saya itu Judes” mengalir lancar begitu saja akhirnya pengakuan itu dari bibir Anisa.

“Yaaa....yang sabar ya nis, semua itu proses. Kita belajar dari kekurangan dan kelemahan kita untuk bisa memperbaikinya. Memang marah itu timbul dari hal yang tidak kita inginkan terjadi. Tapi khan hidup ini memang tidak bisa semuanya seperti yang kita maukan. Apalagi yang berhubungan dengan orang lain. Melihat orang begini saja sudah marah, begitu marah. Ya....jadi bawaan marah terus donk. Sabar ya nis.... nanti lama-lama juga kan bisa” ucapku mencoba menenangkannya.
Jadi teringat masa laluku yang dulu juga gampang sekali marah. Sampai-sampai kuutarakan pada sahabaku bahwa cita-citaku adalah 'jangan marah'. Jadi disaat ada hal yang membuatku mau marah, cepat kuingat cita-citaku. Begitu juga sahabatku yang sering mengingatkan diriku akan cita-cita itu saat mengetahui merah padam mukaku menahan marah. Buntut-buntutnya kami malah ketawa geli karena cita-cita itu.

“Saya pernah baca buku tentang seratus dosa-dosa besar, dan ternyata marah itu termasuk dosa besar. Waahhhh....jadi saya takut sendiri. Ya Allah....jadi selama ini saya itu banyak dosanya.” Suara Anisa memecahkan lamunanku.
“ Marah itu bibit awal dari kedholiman lho nis. Makanya kita mesti hati-hati. Coba belajar di setiap kita menemukan sesuatau hal yang tidak kita sukai, kita harus ingat bahwa semua yang terjadi di dunia ini tidak ada yang luput dari kehendak Allah walaupun itu daun kering yang jatuh dari rantingnya. Dan Allah tidaklah berbuat sia-sia atas yang terjadi. Pasti ada manfaatnya. Lha...kalau hal yang terjadi itu atas kehendak Allah apa kita pantas marah?? Kita memang sering tidak sadar memaksa Allah dengan keinginan kita. Lucu sebenarnya kalau dipikir. Mau kita begini, tapi saat yang terjadi begitu, Nah...lho! Kita marah. ya....gimana wong kemauan Allahnya begitu. Kita kok ngeyel. Jadinya yang sakit, yang sumpex, yang ngos-ngosan ya kita sendiri karena tidak bisa menerima ketentuanNya. Belajar nis.... sama, saya juga masih belajar untuk bisa tidak mudah marah, bahkan kalau bisa jangan sampai marah ya..” Panjang lebar kucoba menerangkannya.
Sedikit terkesima mata ini saat tertangkap olehku warna bening telah menggelantung di balik kacamata minus itu. Dan tak lama kemudian terjatuh. Kulihat Anisa membuka tas mungilnya untuk mencari sesuatu. Sebentar kemudian dia mengusap sekitar mata dan pipinya yang sudah basah dengan tissue yang ada dalam genggamannya. Ya..Allah.. dia menangis pikirku. Apa yang kukatakan hingga bisa membuat gadis cantik ini tersentuh? Lembut sekali hatinya. Ku coba untuk terus memberinya nutrisi bagi jiwanya yang haus dengan segala kemampuan yang Allah berikan padaku.

“Kalau nggak salah, ada beberapa macam jenis nafs atau jiwa itu nis, diantaranya ada Amarrah, Lauwamah dan yang paling bagus itu Mutmainah. Seperti yang tersebut dalam Al-Qur'an, Yaa aayyatuhannafsul muthmainnah,....'Wahai jiwa yang tenang'. Dan jiwa yang tenang itu yang bagaimana? Tenang kan berarti enggak pakai acara marah. Enggak buruh-buruh. Makanya Sholat itu juga gak baik kalau buru-buru. Lha wong sholat itu lho mestinya khan tumma'ninah. Tenang juga kan artinya. Marah, buru-buru, ragu-ragu itu jalannya setan lho nis. Coba kita lihat para kyia atau orang-orang yang sholeh, pasti bawaannya kalem, tenang dan menyejukan. Itu jiwa yang muthmainnah.” Kutarik nafas sebentar untuk mengatur hati dan jiwaku biar tidak loncat-loncat. Karena dalam hal begini setan kadang juga ikut nimbrung. Ikut aja boncengi.
“Kita mesti bisa mengenali diri kita sendiri karena di dalam diri kita ini setan dan malaikat sering beradu argumen untuk mempengarui kita dalam ambil keputusan. Makanya kita mesti sering membersihkan hati kita hingga nanti bisikan setan itu tidak dominan dan mudah kita kenali hingga kitapun tidak mengikutinya. Caranya bagaimana kita bisa tau ini bisikan setan, malaikat atau dari Allah sendiri. Kita mesti banyak dzikir mengingat Allah. Banyak-banyak mempelajari Al-Qur'an dan Al-Hadist. Ingat khan, riwayat ibu hawa dan nabi Adam di surga. Lha wong tingkat nabi kok bisa kalah sama setan hingga di turunkan ke dunia. Itu mengapa? Sebenarnya Allah memberi pelajaran pada kita, bahwa manusia itu tidak bisa mampu melawan yang namanya setan. Bagaimana bisa melawan, wong setan itu lho gak kelihatan, tapi dia bisa ngeliat kita. Setan tidak mati tapi kita juga mati. Kita butuh istirahat tidur,sedangkan setan sendiri tidak perlu tidur. Wah...payah kan. Caranya cuman ada satu, di saat manusia mau meminta pertolongan serta berserah diri pada Allah, itulah satu-satunya kekuatan terbesar yang kita miliki. Karena jadinya yang melawan setan itu bukan kita lagi, tapi Allah. Ya tentunya setan yang kalangkabut kalau sudah melihat seorang hamba itu punya dekengan Allah. Karena itu, banyak belajar nis....baca Al-Qur'an, baca buku-buku agama yang bisa menambah ilmu kita, biar gak kalah dengan setan.” Panjang lebar keteranganku dengan suara yang naik turun tersaingi suara musik yang bising. Anisa masih melihat lekat padaku dengan sesekali membuka kacamatanya dan mengusap kedua pelupuk mata indah miliknya.

Seperti masih kurang puas dengan ocehanku, Anisa pindah kursi duduk lebih dekat denganku. Dengan tangan yang diletakan di atas kakiku dia mencoba untuk mengaduh
“Sering mbak, saya merasa diremehkan orang. Sakit rasanya, tapi ya...saya coba untuk berfikir kalau saya memang pantas menerima itu karena saya dulu pun sering meremehkan orang. Dengan begitu saya mencoba menahan marah saya.”
“Iya...bagus itu. Tapi saranku, kalau bisa berfikirnya yang lebih bagus lagi. Begini, kamu merasa pantas diremehkan orang karena kamu pernah meremehkan orang. Lha kalau suatu saat nanti kamu sudah berjalan dalam pertaubatan dan tidak meremehkan orang lagi, tiba-tiba kamu diremehkan orang, bagaimana?!? Bisa-bisa kamu protes sama Allah. Ya...Allah, mengapa saya diremehkan orang padahal saya sudah tidak meremehkan orang. Tuh kan!! Karena kamu masih melihat apa yang telah kamu lakukan. Ingat...sesungguhnya kebaikan yang kita lakukan itu atas pemberian Allah, dan kesalahan yang kita lakukan itu sebagai pembelajaran dari Allah untuk kita. Ada lho istilah 'Nikmatnya Maksiat'. Maksudnya apa? Maksudnya dengan kita di kehendaki Allah untuk berbuat maksiat, kita semakin menyadari kita ini kotor dan banyak dosa hingga kitapun lebih tersungkur di hadapan Allah untuk memohon AmpunanNya. Beda kan kalau orang yang tidak pernah berbuat maksiat, dan melihat amal ibadahnya yang sudah baik. Hingga diapun merasa suci. Dan suatu saat jika Allah memberi ujian padanya dia akan jatuh. Bahaya itu. Semua yang menimpah kita atas kehendak Allah enak ataupun enggak enak, jadi diterima saja. Jangan banyak dalih. Lha kalau seperti kamu diremehkan orang, alangkah baiknya jika kamu berfikir. 'Akh...biarin saya remeh di hadapan manusia, asal tidak di hadapan Allah'. Atau 'ya...emang ini yang dikehendaki Allah pada saya, jadi saya mesti sabar'.Udah, gitu aja. Yang penting kamu sudah benar dalam berperilaku sudah jangan terlalu dipikirin orang lain. Kan sudah ada rumusnya, kalau lagi gak enak ya sabar, kalau lagi dapat enak ya bersyukur. Apalagi kalau bisa bersyukur saat mendapat hal yang tidak enak...wah...itu lebih bagus lagi.” paparku melanjutkan.
Seakan-akan kesibukan orang-orang sekitar kami tidak pernah ada mengelilingi kami. Kami merasa berada di tempat lain, jauhh... Bukan di suasana tasyakuran yang banyak tamu dan hiruk pikuk orang melayani. Anisa masih dengan hikmat mendengarkan nyanyian merduku yang mencoba mengukir di balik kalbunya. Matanya mulai memerah dengan linangan-linangan yang tak mampu dia tahan. Sering kali dia tertunduk, mencoba menyelami makna tiap huruf-huruf yang kurangkai dalam mutiara-mutiara kata.
Tiba-tiba suara musik berhenti hingga kami celingukan mencari ada apa gerangan. Ternyata adzan dhuhur dikumandangkan dari masjid dekat rumah. Segera ku gapit tangan Anisa untuk melangkah menuju masjid.Kami berjalan berdampingan yang sesekali terlontar pertanyaan-petanyaan Anisa yang kemudian kucoba untuk menjawabnya.
Sholat kami sangat asyik dirasakan. Mungkin karena pembicaraan kami di rumah itu yang masih terngiang-ngiang di telinga kami hingga kami pun merasa tidak keberdayaan di hadapanNya. Tak lupa kuajak Anisa melakukan sujud syukur sebagai bentuk syukur padaNya yang telah memberi kekuatan kami untuk melakukan sholat dan masih mengingat dan berharap hanya padaNya. Lama kami tenggelam dalam sujud dihadapanNya. Kami larut dalam isak tangis dari mengharapkan rengkuhan tangan yang Maha kasih untuk mencurahkan RahmatNya atas kami. Hingga akhirnya walau dengan berat kami lepaskan ikatan kening dengan sajadah tempat kami sujud. Yang terlihat hanya bekas kening dan sajadah yang basah karena air mata kami.
“Nisa....” lirih suaraku memanggilnya yang masih sesenggukan di sampingku.
“Iya mbak...” sahut Anisa sambil mengusap matanya yang memerah.
“Boleh saya meminta sesuatu padamu..”
“Apa itu mbak..?”
“Boleh saya memelukmu..?” pintaku dengan suara gemetar.
Anisa menjawab dengan anggukannya yang lemah. Kurengkuh tubuh gadis yang terlihat lemah karena banyaknya air mata yang terkuras. Kami berpelukan dengan menumpahkan semua air mata yang tersisa.
Ya..Allah....ampuni dosa kami ya Allah....beri kekuatan kami untuk terus berada dalam pertaubatan kami. Beri kekuatan kami istiqomah ya Allah. Jaga kami ya Rabb....bimbing kami. Tiada yang mampu menyelamatkan kami selainMu, tiada yang mampu menjaga kami selainMu, dan tiada yang mampu memelihara kami selainMu. Karena itu, Selamatkn kami, jaga kami, dan pelihara kami untuk tetap taat padaM. Ya Allah....dzat yang menggenggam jiwa kami. Kami tak berdaya ya Allah....Lahaulawahuata ilabillah......

Rentetan doa kupanjatkan saat tubuh kami dalam pelukan. Pelukan kasih Sang Ilahi yang menyertai kami siang itu, di masjid itu. Subhanallah..... Sejuk benar waktu dhuhur yang kami rasakan. Seakan-akan para malaikat mengelilingi dan Allah pun turun menghampiri lalu mengusap kepala kami dengan penuh cinta dan kasihNya. Ya Allah... terimaksih....terimakasih...ya Allah... Segala puji bagiMu..
******
Sumber : ( Cerpen Harian )