Senin, 25 Mei 2009

Kuli dan Tuhan


Jalanan yang biasan lancar mesti arus kendaraan lebih meningkat, kini tak lagi mampu bergerak. Tepatnya padat berisi. Bukan karena arus kendaraan berlipat tiga atau empat kali. Tapi karena ada pembangunan jembatan yang memang sudah rusak berat dan pelebaran jalan.


Deru kendaraan bermotor memadati seluruh penjuru arah. Belum lagi ditambah suara klakson yang tak henti-hentinya berteriak memekakan gendang telinga. Stress muncul mengintip di balik panasnya kepala terkena sengatan sinar matahari yang menahan senyum meledek..


“Huhh...macettt.!!! sebel dech. Mana panas lagi...hhh” keluh Rita

“Sabar ta... “ kucoba menenangkan sepupuku itu.


“Sabar gimana..? Lha uda sumpek gini kok disuruh sabar. Jalan kok ga pernah beres. Ada aja yang rusak. Buntutnya di perbaiki. Macet! Hehhh..” sahut Rita tetap dengan nada jengkelnya.

“Tapi itu semua kan juga buat kebaikan kita ta...” jawabku memberi pengertian.

“Kebaikan kita?! Apanya?! Itu semua akal-akalan aja.. sengaja mereka membuat jalan dengan kwalitas yang tidak baik. Jadi gampang rusak, biar ada proyek lagi, bangun jalan lagi. Gitu... !! mereka kan senang dapat duit. Lihat kuli-kuli itu... mereka seenaknya meletakkan gundukan koral. Kita jadi repot kan!” jawab Rita dengan dada naik turun menahan emosi.

“Lha kamu mikirnya kesana ta... jadi bawaannya curiga terus. Mbok jangan buruk sangka. Iya kalau bener gitu kenyataannya. Kalau enggak bagaimana, kan ga baik gitu itu ta..” balasku yang jadi ikut geram.

“hmm..apalagi kalau ga gitu..?!” dengan masih uring-uringan Rita menggerutu. Aku akhirnya diam aja membiarkan dia bernyanyi dengan lagunya. Dan aku dengan laguku sendiri.


Berlahan barisan kendaraan mulai bergerak. Sudah hampir 20 menit kami terjebak kemacetan. Sebenarnya tujuan kami sudah dekat. Sekitar 500 meter di depan, belok ke kanan sudah kelihatan rumah pakde Didik. Syukurlah tidak lama berikutnya kami mampu lolos dari antrean panjang yang menyesakkan itu. Kami langsung menuju rumah pakde yang tidak jauh dari gang yang kami masuki.


Kulihat wajah Rita masih memerah akibat kepanasan matahari dan kipasan rasa emosinya. Aku hanya bisa tersenyum melihat ulahnya. Dia memang agak keras dan mudah marah, tapi juga mudah redah. Setelah memarkir motor, kami segera memasuki rumah yang kelihatan sepi tapi terasa asri dengan berbagai tanaman segar di halaman dan teras rumah.


“Assalamu'alaikum...” kusampaikan salam pada penghuni rumah.

“Wa'alaikumsalam... Oo.. kalian uda datang. Masuk sini, pakde uda nunggu dari tadi” jawab pakde Didik yang ternyata sedang duduk santai sambil baca koran di ruang tengah.

Sejurus kemudian kami bergantian mencium tangan beliau lalu duduk di sofa dekat pakde.


“Lho! Kamu kenapa ta.. kok seperti habis kebakaran gitu..?” tanya pakde begitu melihat wajah Rita yang masih merah padam.

“Macet pakde. Males aku jalannya jadi ruwet. Ga asyikk...” jawab Rita yang masih cemberut, tapi sudah mulai lega setelah mendapatkan hawa dingin dari kipas angin di pojok ruangan. Sedikit demi sedikit akhirnya urat syarafnya mulai kendor. Bibirnya sudah mulai bisa tersenyum begitu melihat pakde Didik menggoda dengan memonyongkan mulutnya mengikuti Rita yang sewot. Tawa pun akhirnya meledak.


“Ta, kamu ga boleh begitu. Marah dengan keadaan yang tidak sesuai dengan hatimu. Mestinya kamu itu malah mengucapkan terimakasih pada mereka.” jelas Pakde Didik.

“Lho! Emang kenapa kok saya mesti terimakasih sama mereka. Kan mereka kerja seperti itu dapat bayaran. Bukan cuma-cuma.” sahut Rita tidak mengerti maksud pakde Didik.


“Iya sih.. mereka emang uda di bayar...dapat uang. Tapi coba dech kamu renungkan... Misalnya tidak ada orang yang mau jadi kuli karena mereka memandang kuli itu kotor, hina, keras, susah dan sebagainya. Lalu siapa yang akan bangun jalan yang kita lewati. Siapa yang bangun gedung, rumah, tempat ibadah, puskesmas, dan sebagainya? Justru kita mesti ucapkan terimakasih pada mereka. Karena mereka mau bekerja keras, mau kotor-kotor, mau payah-payah untuk membangun jalan, rumah, gedung, dan macem-macem, jadinya kita sekarang bisa menikmati hasil karyanya.” Pakde Didik sudah mulai ceramahnya.


Pasti ini panjang dech batinku berkata. Karena pakde Didik memang suka memberi ceramah. Maklum Ustad yang gagal tenar. Jarang panggilan khotba, akhrinya siapa saja yang ditemui pasti di khotbai... Namun bukan berarti apa yang disampaikan hanya angin kosong, berisi juga lho..


“Kalian berdua ya, pakde nasehati. Banyak-banyak tanamkan rasa terimakasih pada sesama. Kita ambil contoh itu tadi. Dulu mana ada jalanan yang enak, aspalan, mulus, termasuk juga jembatan. Sekarang kalian ga ikut angkat batu, nggak ikut angkat semen, tau-tau jalan uda jadi dan kalian bisa mondar-mandir melewatinya tanpa halangan. Apa enggak sudah semestinya kalian mengucapkan terimakasih pada para kuli itu, hehh..? mereka membangun, menghasilkan karya, hargai hasil karya mereka dan ucapkan terimakasih. “ sejenak pakde Didik menghentikan khotbahnya.


Rita nyeletuk” jadi kami mesti menyalami mereka...sana ngucapkan terimakasih, gitu maksud pakde?”

“Tidak harus begitu cara kamu menghargai dan mengucapkan terimakasih. Bisa dengan jalan tidak merendahkan mereka dalam sisi hatimu. Itu yang lebih penting. Dan eksploitasikan semua itu dengan tindakan yang santun. Sehingga kamu akan menjadi manusia yang menghormati sesama.” lanjut pakde Didik.


“Tak pikir-pikir, nasib kuli itu hampir sama dengan nasib Tuhan.” tambah pakde Didik memancing rasa penasaran kami.


“Hahh...?! maksud pakde..??” ganti aku yang sedari tadi diam menyimak sekarang ikut bertanya.

“hmm... coba bayangkan. Tuhan kita Allah sudah menciptakan kita, menciptakan bumi seisinya, semua kebutuhan kita diciptakanNya. Kita diijinkan menjalani kehidupan ini sesuka kita dengan semua sarana prasarana dari Tuhan. Tapi apa balasan kita pada Tuhan??!!. Boro-boro kita beribadah seperti sholat, puasa, sedekah atau sebangsanya, ucapan terimakasih saja sama Tuhan jarang sekali kita ucapkan. Kadang sih kita mengucapkan di mulut, tapi hati kita mengingkari alias tidak setulus hati. Bahkan tidak jarang kita malah sering mengeluh dan menyalahkan Tuhan. Bagaimana? Lupa apa nggak ingat....!!” jawab pakde Didik


Kami melirik satu sama lain. Kami membenarkan setiap ucapan pakde Didik dengan nilai kepahaman bathin kami yang semakin luas. Kami tersenyum, tiba-tiba...

“Terimakasih pakde...!!” tanpa kata sepakat sebelumnya kami berbarengan menyampaikan penghormatan kami.

Akhirnya pecah juga gelas tawa kami bertiga. Kami merasakan ada sesuatu yang mengalir dalam hati kami, rasa syukur bersenandung. Terimakasih Tuhan....

Rabu, 30 Januari 2008

Tahajud di Pasar


Selepas sholat subuh langsung kutanggalkan mukenah lalu kulipat rapi dan meletakkannya di atas sajadah yang terhampar di sudut kamar. Dingin udara pagi membelai lembut kulitku melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Bergegas kumempersiapkan diri untuk turut pergi ke pasar menemani ibu belanja. Hari ini ibu ketempatan arisan PKK, jadi kami harus memperisapkan jamuan untuk itu. Kukenakan kerudung motif bunga-bunga warna putih. Kuambil cermin lalu kuamati sebentar. Hmmm...sipp uda manis kok gemingku dalam hati yang tersenyum menghibur diri.

Ibu ternyata lebih sigap daripada aku. Beliau sudah menunggu di depan rumah. Dengan meliuk-liukkan badan ke kanan dan kekiri ibu mencoba melakukan pemanasan sebelum kami berjalan-jalan pagi menyusuri jalanan arah pasar.

“ Ayoo....bu” ajaku sambil berlari-lari kecil.
“ Sudah di kunci nak pintunya?” sambil tersenyum ibu bertanya memastikan
“ Sudah...” jawabku

Kami berlari-lari kecil melewati rumah-rumah yang masih tertutup rapat. Hanya sebagian kecil yang sudah terbuka pintu rumah yang kami lalui. Sengaja kami tidak menggunakan alas kaki agar kaki kami bisa langsung bersentuhan dengan aspal jalan yang tiada pernah mengeluh saat kami injak-injak tiap kali melewatinya. Sesekali aku berhenti berlari dan jalan sekenanya. Capek juga ternyata walau hanya berlari-lari kecil. Beda dengan ibu yang terus berlari. Walau dengan langkah pendek-pendek namun beliau terus tanpa berhenti. Istiqomah.

Selama menyusuri jalan ke pasar ibu selalu mengulang-ulang cerita indah saat bersama almarhum ayah. Ibu sangat terkesan dengan kenangan-kenagnan indah yang dilalui kala ayah masih ada. Sementara aku menimpali dengan sesekali menggoda ibu. Kami terlihat bukan seperti ibu dan anak, tapi lebih pas bila disebut teman akrab atau sahabat. Karena derai tawa kami sering terdengar renyah menyapa daun-daun pohon yang kami lalui.
Sesampai di pasar, kami mencoba membela orang-orang yang sudah banyak mengisi ruang di jajaran stand para pedagang. Ada juga sebagian pedagang yang masih terlihat baru datang dan membuka barang dagangannya. Kami terus melewati orang yang hilir mudik mencari masing-masing kebutuhannya. Sedangkan kami mencari penjual lontong yang tempatnya di ujung barat dekat pertigaan.

“ Hmm...nak, orang-orang ini jam berapa ya berangkat dari rumah, sekarang mereka sudah ada di pasar untuk jualan. Apalagi yang jual makanan mateng. Bisa -bisa jam satu malam mereka sudah repot masak.”
“ Mungkin mereka sebelum adzan subuh sudah ada di sini bu... setidaknya jam tiga mereka sudah siap-siap.”
“ Dulu ibu sama ayah pernah jualan nasi juga. Jam satu sudah bangun masak sampai subuh. Lepas subuh kami baru nitipkan nasi ke pasar atau langganan. Capek nak, akhirnya kami berhenti karena sudah gak mau repot-repot lagi. Wongya anak-anak sudah pada mentas semua. Jadi kan gak ada tanggungan. Mending kami habiskan untuk sholat dan mendekatkan diri sama Allah. Menikmati masa pensiun.”

Dengan tersenyum kutatap wajah wanita yang penuh guratan kisah kehidupan selama lebih dari enam puluh tahun ini. Wanita yang beberapa tahun belakangan ini telah mengisi hari-hari indahku. Wanita yang ditakdirkan Allah untuk mengajari arti kelembutan. Wanita yang selalu memompa semangatku. Wanita yang senantiasa mencurakan kasihsayangnya dikala aku jauh dari ibu kandungku.

“ Bu..., para pedagang ini juga tahajud lho mesti mungkin tidak mendirikan sholat. Mereka tahajudnya di pasar.”
“ Hehehe...Kamu ini nak, aneh-aneh. Masak bisa tahajud dipasar.”

“La iya. Pinjem istilah kan boleh. Bukannya selama mereka dalam melaksanakan aktifitasnya itu karena Allah mak termasuk ibadah? Bayangin bu, misal orang yang jual sayuran itu, mulai dari bangun tidur meluruskan niat bahwa apa yang dia kerjakan malam hari ini semata-mata karena Allah yang telah memberikan takdir padanya sebagai pedagang, sebagai jalan turunya rejeki untuk kehidupan keluarganya. Apalagi di setiap gerak dan langkahnya diiringi dengan do'a-do'a pengharapan pada Allah. Misal mau keluar rumah saja dia berdoa 'Ya Allah...saya pergi kepasar malam ini hanya untuk mencari rahmat dan ridhoMu. Semoga Engkau turunkan atas kami berkahMu.' Dengan begitu kan dagangannya penuh dengan barokah.”

“Iya ya nak, yang Allah lihat itu kan niatnya ya... Semisal kita bangun malam sholat tahajud tapi jika itu kita niatkan bukan untuk Allah berarti itu kan masih kurang baik. Kurang Ikhlas. Bisa-bisa lebih baik yang pergi ke pasar dengan meluruskan niat untuk memenuhi ketentuan Allah yang telah memberi takdir padanya sebagai pedagang. Gitu ya nak..?”

“Bener sekali bu... kita yang sering salah menilai. Coba kalau nuruti nafsu kita, kan kita lebih merasa baiknya orang-orang itu pada bangun malam untuk sholat tahajud dan waktu subuh kita penuhi masjid untuk bejama'ah. Duuhhh senengnya lihat orang-orang pada beriman dan rajin ibadah. Padahal kalau nurutin nafsu kita begitu, bisa-bisa pasar ini sepi gak ada yang jualan. Terus bagaimana kita untuk memenuhi kebutuhan. Kan repot.”

“Sebenarnya semua kan sudah diatur oleh Allah sedemikian rupa. Ada yang menjadi ini, ada yang menjadi itu. Semua pada tempatnya masing-masing. Tinggal kita pada tempat kita seperti apa. Apakah kita menerima, ridho dengan ketentuan yang Allah berikan pada kita? Semua peranan dari Allah, dan kita jadikan peranan itu untuk Allah juga. Dan jika kita Ikhlas menerima, tentunya kita akan menjalani peranan itu dengan baik dan penuh syukur. Dan disaat kita mau bersyukur Allah akan menambah nikmatNya. Itu sudah janji Allah.” nyerocos aja mulutku tak terkendali sudah. Lagaknya kaya sedang berdiri di mimbar dengan jama'ah yang hikmat menyimak. Tersenyum keki aku kala seorang pedagang menatapku tak berkedip. Entah takjub atau munkin neg mendengarku.

Ibu senyum-senyum melirik ke arahku. Entah apa yang difikirkan. Hanya sorot mata bahagia yang sekilas kutangkap dari binar-binar yang terpancar. Kami berhenti di depan penjual lontong yang sedang melayani beberapa orang pembeli. Kami tidak terlalu lama menunggu karena kami sudah memesan satu hari sebelumnya. Kami tinggal mengambil dan memberi kekurangan pembayaran.

Kranjang yang terisi lontong sebanyak empat puluh buah itu menjadikan lumayan berat saat aku menjinjingnya. Ibu berjalan memimpin didepan untuk melengkapi belanjaan kami. Belanja ini belanja itu. Lengkap sudah semua masuk keranjang. Kami berputar arah keluar pasar yang sebelumnya mampir membeli kue jajan pasar. Ada Getuk, Lemet, Klanting, Lopes, dan teman-temannya. Hmm......


******

Sabtu, 05 Januari 2008

Rindukan Allah


Masih dengan menahan isak tangis kucoba melihat Hp yang berdering melengking. Arif sahabatku memanggil telah menarik dari hanyutnya diriku dalam indah gemah ayat-ayat suci yang barusan kulantunkan. Malam ini sensitif sekali diriku. Entah mengapa, mudah sekali menangis kala melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Ucap salam dari Arif kuterima dan kusampaikan salam juga baginya. Sejurus kemudian kami ngobrol kesana kemari turut menghiasi malam yang disinari rembulan dengan kesempurnaan keindahannya ditengah bulan ini. Dalam benakku memang sedari tadi mempunyai niat untuk tidak tidur terlalu sore. Belajar tirakat istilah orang jawa mengatakan bagi mereka yang terjaga hingga larut malam. Entahlah....tidak bisa kutolak rasa di hati yang ingin bertahan hingga tengah malam nanti. Dan ternyata Allah telah mengirimkan Arif untuk menemaniku menunggu dan menghabiskan malam ini bersamanya. Ya Allah....Alhamdulillah selalu ada jalan bagiMu untuk membawa diriku mendekat padaMu, gemingku dalam hati.

“Fit, sekarang aku tanya kamu ya... Misal kamu sampai pada ALLAH, lalu ALLAH memerintahkanmu untuk masuk neraka. Kamu bagaimana? Mau enggak?” tanya Arif membuatku terhenyak.
“Hmm... Pernah kan aku kirim sms sama kamu. Masih ingat enggak yang kukutib dari ulasan seorang ulama bahwa 'Tiada Surga bila itu tidak bersama ALLAH dan Tiada Neraka bila itu bersama ALLAH'. Jadi intinyakan bukan surga atau nerakanya. Tapi bersama tidaknya kita dengan ALLAH?” kuhentikan sejenak lalu kuteruskan.

“Sekarang kamu bertanya seperti itu padaku. Kalau untuk saat ini, jawaban saya tentunya masih terliputi oleh nalar karena itu hanya seandainya dan menjadi angan-angan kita. Saya tidak tahu bila dalam situasi yang benar-benar terjadi jawaban apa yang akan keluar dari mulutku. Karena itu saya sering berdoa begini... Ya Allah....Apapun ketentuan dan pemberianMu padaku, beri diriku kekuatan untuk mengahadapinya. Dan Apapun takdirMu atas diriku ya Allah....satu yang kuinginkan... jangan pernah tinggalkan diriku dan jangan biarkan diriku meninggalkanMu...” suaraku sedikit gemetar karena menahan sesuatu dalam dada. Tidak! Jangan menangis di depan Arif. Malu, pekikku dalam hati. Walau sebenarnya sudah sedari tadi aku menangis, namun kucoba untuk tidak terlalu hanyut dengan nuansa hatiku saat menggantungkan harap dalam panjatan doaku.

“Aamiien... Iyaa... kamu bener. Aku pernah enddak ya cerita sama kamu tentang riwayat 3 orang yang dimasukan neraka oleh Allah?” tanya Arif
“Hmm...sepertinya pernah sih... tapi coba kamu ulang lagi mungkin nanti ingat.”
“Ini dalam hadist Fit, ada tiga orang yang dimasukan oleh Allah dalam neraka. Dan orang ini protes sama Allah. Yang satu protes karena dia itu hidup di zaman tidak ada Rosul atau alim ulama yang bisa menunjukan dia pada kebenaran. Makanya dia tidak Sholat. Yang satunya protes karena dia tinggal di tempat yang terpencil dan jauh dari Masjid atau seruan-seruan kebaikan. Sedangkan yang satunya protes karena dia bisu dan buta sehingga tidak bisa melihat dan mendengar. Mereka protes dan minta keadilan pada Allah. Lalu Allah berfirman pada Nabi bahwa andaikata ketiga orang tersebut mau menerima ketentuan Allah tanpa protes, tentu Allah akan menjadikan dingin api neraka untuk mereka. Sesungguhnya apa yang tidak mungkin bagi Allah jika Dia menghendaki. Subhanallah... Allah kan bisa berbuat apa aja. Apa yang tidak bisa bagi Allah ya Fit?”

“Iyaa betul... Makanya, kadang kita melihat orang itu sepertinya kok sengsara hidupnya, serba kekurangan, banyak cobaan. Kasihan banget kita sama dia. Tapi dianya sendiri malah nikmat menjalani hidupnya. Sepertinya kita melihat dia berada di neraka dunia ya... tapi tidak taunya karena dia punya iman dan selalu bersama Allah, jadinya dia bahagia dan nikmat terus walau terlihat bagi yang lainnya tidak mengenakkan. Dan sebaliknya, bagi mereka yang sepertinya saja di surga memiliki apapun yang dia mau. Harta melimpah, mobil, apartemen, berliburnya ke luar negeri. Tapi mereka kering dan tidak pernah merasa nyaman dan tenang. Mungkin kurang lebih begitu ya..?”

“Iyalah... kita itu bener-bener harus sami'na wa atho'na kami mendengar dan kami taat. Jadi gak usa protes atau pakai alasan.”
“Semoga kita bisa yang seperti itu. Memang kalau di pikir juga,jika kita mengatakan cinta sama Allah dan mengabdikan diri padaNya. Tentu yang lebih utama kan kemauanNya bukan kemauan kita.Apa saja asal Dia yang kita cinta menginginkan pasti kita melakukannya. Dan tentunya Allah yang Maha mencintai pasti membalas cinta kita dengan segala karunia nikmat CintaNya. Hmm....seneng sekali ya...bisa seperti itu”
“InsyaAllah.... Sudah ya Fit, udah ngantuk nih... takut nanti malam gak bisa bangun kalau kemalaman tidurnya.”

“Lho....jangan dulu. Kita begadang sampai jam duabelas aja. Ayoo...nanggung kamu.”
“Ya sudah.... kamu ngomong sama kucingku saja ya... hehehe...” Arif menggodaku
“Gak papa... mana..?maniss...manis...lagi ngapain..”
“Meoongg...”
“Hahahahaha.....” kami tertawa seakan malam yang semakin merambat dan semakin sunyi ini kami gemahkan dengan derai tawa kami.
“Sudah...sudah...ngantuk.nih... Sudah ya?”
“Yowiss...”

“Assalamu'alaikum...”
“Ee....Arif..salamnya jangan ampang gitu.. mesti pakai jiwa donk, seperti waktu kita ikut pelatihan itu. Ayooo”
“Hehehe... sudah ngantuk nih fit. Jiwanya sudah melayang-layang ini.”
“Hehehe.. ya sudah... sono bobo'. Wa'alaikumsalam Warahmatullah...”

Kamipun mengakhiri. Tanpa terasa hampir dua jam ternyata kami telah ngobrol ngalor ngidur. Mulai dari membicarakan kegiatan, kerjaan. Hobi, teman, diskusi, cerita lucu-lucu yang pernah kami alami dan banyak lagi. Ya...Allah... Ampuni jika ada khilaf kami dalam obrolan tadi.

Kulihat jam sudah mengarah pada pukul sebelas malam. Akh... ngantuk juga sih.. tapi tidak begitu berat. Seketika aku bangkit menuju kamar mandi untuk mengusir rasa kantuk yang mulai menyerang. Kuambil air wudhu lalu kudirikan sholat sunnah syukur wudhu dua rakaat. Kupanjangkan sujud terakhirku, mencoba untuk menenggelamkan jiwa dalam belaian kasih Sang Ilahi....

Selepas Sholat, kuambil meja lipat dan Kitab suci dengan berlahan mulai kubuka dan membacanya. Satu surat setelah kuakhiri kucoba panjatkan doa. Tanpa diminta, mengiang pertanyaan Arif 'Misal kamu sampai pada ALLAH, lalu ALLAH memerintahkanmu untuk masuk neraka. Kamu bagaimana? Mau enggak?' Dadaku bergemuruh.... entah darimana datangnya rasa itu, tiba-tiba tak mampu kutahan ledakan dalam dadaku. Tumpah ruah sudah air pengharapan, takut kehilangan dan ditinggalkan olehNya. Rasa Rindupun hadir menyapa da menemaniku. Dipeluknya diriku hingga terguncang tubuh dalam kerinduan untuk bertemu denganNya.

Ya..Allah.. hamba merindukanMu, hamba inginkan diriMu...bukan neraka yang hamba takutkan ya Allah... melainkan hamba takut jauh dariMu... Namun...hamba harus bagaimana untuk bisa sampai padaMu ya Allah...hamba bodoh untuk mengenalMu tanpa Engkau yang mengajari dan memperkenalkan diriMu padaku. Hamba tidak berdaya ya Allah..dengan tubuh dan jiwa yang lemah ini... bawa hamba untuk sampai padaMu ya Rabb..
Jangan..jangan tolak hamba ya Allah... hamba tidak tahu harus kemana lagi selain kepadaMu.... terimalah hamba...terimalah hambaMu ini ya Allah...
Hamba merindukanMu... Ya..Allah hamba merindukanMu... ya Allah.. Allaah...Allaah.....Allaah....

Terisak dalam heningnya malam, menggeliat dan meronta jiwa yang terpasung. Hendak berlari entah kemana akan pergi.. Hendak berpacu namun diri dalam belenggu. Akh....mengapa Rindu dan Cinta ini tiba-tiba menyayat dan mengiris hatiku. Berdarah-darah dan berurai air mata menahan gelora Rindu untuk yang terCinta....Kupeluk kitab suci yang ada dalam genggamanku, Entahlah... apa yang membuatku seperti itu. Tetes demi tetes air mataku membasahi halaman kalam Ilahi yang diAgungkan dan di Mulyakan seisi Alam ini. Ingin kuhentikan tangisku, namun tiba-tiba bibirku berguman lirih namun pasti...

Labaikallahumma labaik....
Labaikalla syarikala kalabaik....
Minal Hamda wanikmata lakawal mulka
Lasyarikala...
Bukan berhenti, namun tangisku semakin menjadi...
Hamba datang ya Allah...hamba datang memenuhi panggilanMu dalam jiwaku....Ajari diriku untuk mendengar panggilanMu dan memenuhi panggilanMu ya Allah....
Betapa Rindu tubuh ini untuk bisa sampai ke rumahMu baitullah di tanah suci Mekkah Al-Mukaromah...

Dan betapa Rindu jiwa ini menyatu dalam Ruh kudus milikMu..
Wahai Cinta...
Kurindukan diriMu hingga kurindukan kematianku
Kurindukan berjumpa denganMu, hingga kurindukan lepasnya jiwa dari tubuhku
Wahai Cinta...
Bawalah daku terbang ke petala langit ketujuh
Hingga kumelihatMu,bersamaMu dan bercinta denganMu....
Allah...Allah...Allah...Allah...

Lemas tubuhku... dan terkulai hingga terjatuh. Mataku sembab dan sulit untuk dibuka. Dengan masih terisak dan mencoba untuk menenangkan diri kulihat jam yang bertengger diatas Televisi,

Akh...Sudah pukul setengah satu. Tanpa berpindah ke atas pembaringan, kubiarkan tubuhku tergeletak diatas karpet. Dan tanpa melepaskan mukenah, diriku terlelap dalam keberserahdirianku padaNya...
Ya Allah... dengan namaMu kuserahkan hidup dan matiku....


*****

Selasa, 04 Desember 2007

Hatiku Sewot


Selepas sholat shubuh, berhamburan jamaah satu persatu meninggalkan masjid. Semalaman aku berdiam di masjid ini bersama yang lainnya. Demi mengikuti rangkaian acara pendekatan diri pada Sang Khaliq, kami tinggalkan kasur empuk milik kami yang merengek – rengek memanggil. Tapi kami hanya tersenyum memandanginya.

Lumayan banyak yang ikut baik dari kalangan wanita ataupun laki-lakinya. Berjubah lebar pakaian yang digunakan sebagian besar wanitanya sebagaimana mestinya muslimah berbusana. Terlihat nuansa islami dengan saling bersalam-salaman dan menempelkan kedua pipi bentuk keakraban diantara kami. Sedangkan yang pria pun tidak kalah dengan baju gamisnya yang membuat sejuk di pandangan mata.

Tampak sebagian yang datang berkelompok membuat lingkaran tersendiri dan membaca Kitab Suci dengan saling menyimak. Kami semalaman tenggelam dalam khusyuknya beribadah demi mencari Ridho dan Cinta dari yang Maha Cinta. Berbagai sholat sunnah kami dirikan secara berjamaah. Hanyut dalam lantunan doa. Merangkai ranting-ranting keyakinan dan kepasrahan tuk kuatkan rasa Cinta pada Sang Kekasih yang Hakiki. Hingga malampun berganti pagi.

“Dik, pulang duluan ya.. Semoga kita bisa bertemu lagi” mbak Etik, wanita yang baru kukenal semalam mengulurkan tangan berpamitan.
“ Silahkan mbak… InsyaAllah… hati-hati dijalan mbak, masih gelap” sahutku sambil menyambut erat uluran tanganya.
“Iya terimakasih…kamu masih tinggal ta?”
“ Hehehe…pinginnya sekalian nunggu dhuha mbak. InsyaAllah…”Jawabku dengan melempar senyum pada mbak Etik yang sudah bangkit berdiri.
“Ya sudah…saya duluan. Assalamu’alaikum….”
“ Wa’alaikumsalam warahmatullahiwabarakhatuu…”

Kulihat yang lain menyusul meninggalkanku yang masih asyik berdiam diri diatas hamparan karpet bergambar masjid berjajar membentuk shaf-shaf. Tampak juga olehku sekelompok muslimah yang sejak datang semalam sedikit menarik perhatianku demi melihat keakraban dan kehangatan diantara mereka. Sepertinya mereka sangat dekat sekali. Mungkin mereka dari satu tempat pengajian atau organisasi tertentu. Mungkin.

Bergulir waktu tanpa terasa sang mentari pagi pun terbangun terusik dengan riuh suara burung yang bernyanyi sambil menari-nari diatas kubah masjid.
Selesai sholat dhuha, kurapikan mukenah dan kumasukan dalam tas tenteng. Segera aku beranjak hendak meninggalkan masjid yang penuh dengan kenangan indah. Kuletakan kembali meja lipat yang semalam kuambil dari tempatnya. Sejenak kurapikan yang sedikit berantakan dalam tumpukan.

Kulangkahkan kakiku menuju pintu masjid. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan pemandangan yang ada saat mataku menebarkan pandangan ke sekeliling ruang masjid tempat jamaah wanita yang baru kami gunakan semalaman. Banyak kutemukan meja lipat tergeletak begitu saja. Kitab Suci pun masih betengger di tempat-tempat yang bukan semestinya. Yaa…masih tertinggal di tempat para jamaah yang menggunakannya semalam. Padahal pihak takmir sudah mengingatkan lebih dari satu kali untuk mengembalikan di tempatnya semula setelah menggunakannya. Tapi yang terjadi… banyak yang masih berserakan. Bahkan kutemukan juga kantong plastik, botol kosong, kertas, atau tissue. MasyaAllah…..

Ya Allah…kok begini sih? Kok mereka tinggalin begitu saja?Mana tanggungjawabnya? Sebegitunya…ya Allah…hatiku bergeming. Kuletakan lagi tasku di tepi pilar. Lalu kucoba merapikan meja lipat dan kitab suci yang berserakan dengan mengembalikannya di rak-rak yang ada. Kupungut juga botol air minum, plastik, tissue,kertas dan sebagainya yang terlihat mengotori.
Kucoba menenangkan hatiku yang terus bergemuruh. Tapi aku tak mampu. Begitu keras celotehnya hingga menggetarkan jiwaku…

Ya Allah…mengapa begini? Bukankah semalaman kami disini mencari ridho dan cintaMu. Kami mengaji membaca kitabMu, kami mendirikan sholat untuk bermi’raj kepadaMu. Kami bertafakur untuk mengoreksi kebodohan dan kesalahan kami. Tapi mengapa masih begini?
Wahai saudariku sesama muslimah, bukankah ini rumah Allah? Lalu mengapa engkau tinggalkan sampah di dalamnya? Bukankah bersih dan rapi itu sifatNya? Lalu mengapa setelah engkau memakai meja lipat dan kitab suci, engkau tinggalkan begitu saja ?Siapa yang kamu harapkan untuk membersihkan dan merapikannya? Apa karena sudah ada tukang bersih-bersih sehingga dengan seenaknya kamu meninggalkannya begitu saja? Apa karena kamu merasa sudah memasukan lembaran rupiah kedalam kotak amal sehingga itu sudah berarti engkaupun telah membayarnya? Mengapa kita menjadi beban bukan malah membantu meringankan?

Wahai saudariku, bukankah kita semalaman mencari ridho dan cintaNya? Lalu mengapa kini kita melakukan yang berlawanan dari sifatNya? Bagaimana kita bisa berbuat baik di luar sana sedang masih di dalam rumahNya kita sudah tidak beretika? Bagaimana kita mengharapkan Allah menganugerahkan yang lebih besar, sedang yang kecil begini luput dari perhatian kita? Apakah menurutmu ini sepeleh sehingga kamu menyepelehkannya? Bukankah Rosul mengatakan bahwa hakekat beragama adalah ahlaqul karimah? Lalu bagaimana dengan ahlaq kita yang masih seperti ini?

Wahai saudariku, Bukankah setiap apa yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya kelak dihadapanNya? Sekecil apapun itu. Lalu apa yang akan kita jawab dari kelalaian kita ini? Ya Allah…Tuhan yang maha pengampun, ampuni dosa dan kelalaian kami ya Allah…

Keras sekali suara hati ini berceloteh dalam rintihannya. Kucoba melepaskannya. Berat, namun terus kulepaskan. Kukembalikan semua pada Allah yang menguasai tiap-tiap peristiwa yang terjadi. Tiba-tiba kurasakan hatiku berbisik …

“ Sudahlah fit, kamu jangan sewot begitu. Ini semua kan bisa jadi jalan kamu berbuat baik dengan turut membersihakan rumah Allah. Kalau tidak begini mana mungkin kamu bersih-bersih. Tenangkan hatimu, yang penting kamu hati-hati dengan setiap apa yang kamu lakukan. Jangan sampai hal semacam ini kamu turut melakukannya. Kamu tahu satu hal dari keburukan, maka jaga dirimu dari keburukan itu. Turutlah membersihkan, memperbaiki jangan turut merusak dan mengotori.“

Ups!!…iya-ya…mengapa aku jadi sewot begini. Hehehe… Hmm Ya Allah…semoga Engkau senantiasa membimbing dan menjaga diriku dari kebodohanku.…harap hatiku yang diiringi cerah suasana di pagi hari ini.

*****

Wanita Mabuk

Kususuri jalan raya yang masih sepi di pagi yang cerah itu. Dengan mengendarai motor bututku, kucoba menikmati kesejukan udara yang mengikuti disetiap perjalanan kami. Yuli melingkarkan tangannya di pinggangku dengan erat. Sesekali ocehan kami mengisi ruang-ruang kosong di pagi yang masih belum begitu bising. Maklum, hari ini minggu, jadi sebagian besar penghuni kota ini lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah dengan keluarga dari setelah enam hari sudah mereka ditinggalkan untuk bekerja.

Melihat jarum penunjuk bensin berada di bawah, maka kumasuki SPBU yang berada di sebelah kanan jalan. Yuli turun dari boncenganku dan menunggu di tepi lain areal pengisian bensin. Kali ini tidak begitu ngantri jadi dengan mudah kudekatkan motorku pada petugas pengisi bensin. Di tengah kami mengisi bensin, kami dikejutkan dengan kegaduhan orang-orang di samping kamar kecil yang terletak di pojok. Terlihat seorang wanita digendong oleh seorang pemuda keluar dari kamar kecil tersebut. Badannya limbung begitu pemuda itu mencoba memberdirikannya. Hingga akhirnya si pemuda membopong lagi wanita itu untuk dibawa masuk ke dalam taxi yang pada saat itu baru saja di panggil orang-orang sekitar. Dengan memakai rok mininya, terlihat bagian-bagian tubuh wanita itu saat di bopong sang pemuda. Sungguh pemandangan yang ngiris di hati kami.

Kaget campur penasaran mata kami yang melihat dari kejauhan mengikuti adegan yang tidak terjadi di setiap harinya. Setelah pintu taxi di tutup dan mulai berjalan, si pemuda mengikuti dari belakang dengan mengendarai motor. Namun selang beberapa meter taxi berhenti, dan terlihat wanita itu keluar dan duduk di tepi jalan sambil bertiak memanggil si pemuda. Sepertinya dia takut jika di tinggalkan sendirian oleh si pemuda itu. Kemudian pemuda itu mencoba memberi penjelasan bahwa dia mengikuti dari belakang. Lumayan lama si pemuda itu untuk meyakinkan wanita tersebut yang akhirnya didapatkan si wanita menyetujui untuk naik taxi sedangkan si pemuda mengikuti dari belakang. Dan taxi itupun merambat lagi meninggalkan kami yang seperti terhipnotis dalam hitungan menit yang berlalu.
“ Ada apa ya mas..?” tanyaku pada petugas
“ Biasa mbak, mabuk.!”
“ Astaqfirullahal a'dhiim....” sahutku sambil meninggalkan petugas pengisi bensin yang mulai sibuk dengan orang-orang yang sudah berada di barisan belakangku.
Kuhampiri Yuli yang sudah menunggu sedari tadi. Sepertinya dia juga menikmati pemandangan pagi itu tanpa melewatkan adegan wanita dan si pemuda barusan. Bibirnya nyengir memberi tanda kengirisan hatinya dari tingkah wanita tadi.

Kami melanjutkan perjalanan dengan masih tercekap kebisuan dalam alam pikiran masing-masing mengenang peristiwa yang baru saja kami saksikan. Wanita cantik yang mabuk hingga membuat semua mata tertuju padanya. Tiba-tiba rasa sedih menyapaku tanpa permisi terlebih dahulu.
“ Kasihan ya Yul, wanita itu..” kulempar juga akhirnya kata-kata itu
“ Orang mabuk kok dikasihani, ya biarin. Malu-maluin”
“ Jangan gitu Yul, dia itu perlu kita kasihani. Dia seperti itu sebenarnya kan juga bukan kemauannya.”
“ Lho..! lantas kemauan siapa? Lha wong dia yang mabuk kok. Ya jelas dia yang salah”

“ Iya...dia salah kalau kita lihat dari sisi kesalahannya. Tapi tidak bisa ku pungkiri hati kecilku yang ingin memberi rasa kasihan padanya. Sekarang coba kamu pahami.... mana ada orang yang pingin jadi orang yang gak bener. Emang ada? Enggak ada Yul. Di dunia ini sebenarnya semua manusia itu pinginnya jadi orang baik,.. Kalau gak percaya, coba kamu tanyakan sama perampok sana...apa dia dulu cita-citanya jadi perampok? Pasti jawabnya tidak.” suaraku mulai lebih keras untuk mengimbangi deru kendaraan yang mulai ramai mengisi jalanan.

“ Tapi tiap manusia itu kan bisa menentukan pilihannya dalam hidup ini. Apa dia mau jadi baik atau jelek. Lha kalau pilihannya jelek kan jadinya juga jelek. Kalau pilihannya baik jadinya juga pasti baik.”

“ Iyaa...kamu benar. Tapi jika kita memandang orang dengan cara pandangmu seperti itu, yang ada nanti kita akan selalu menyalahkan orang. Apa kita lupa bahwa kita ini hanya seorang hamba Allah yang notabenenya jelas Lahaulawalahuata ilabillah . Coba kita ganti sudut pandang kita dari sisi seorang hamba. Simpati atas dasar sesama hamba. Kan sama kita dengan wanita tadi. Sama-sama mahluk Allah dalam wujud manusia. Cuma bedanya, kita mendapat pertolongan dari Allah hingga kita bisa menang melawan nafsu kita sehingga tidak terjerat oleh kemaksiatan. Sedangkan wanita itu kalah dengan nafsunya. Dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah. Kan kasihan... karena itu kita ini mesti banyak bersyukur tidak sampai begitu. Alhamdulillah Yul....dan jangan juga sombong. Karena amal baik kita juga atas anugerah Allah. Bukan kemampuan kita. ”

“ Lha mengapa dia tidak minta tolong sama Allah biar selamat. Kan salahnya juga kenapa tidak berusaha.”
“ Lho... kamu juga kan belum tau latar belakang dari wanita itu. Dan Allah membuat keadaan demikian juga pasti ada manfaatnya. Sekarang coba bayangkan, kalau semua orang ini baik semua. Tentu istilah baik sudah ilang. Karena enggak ada pasangannya. Ada keburukan pasti ada kebaikan. Seperti wanita itu tadi sebenarnya kan jadi tugas kita untuk mengingatkannya. Tinggal nanti ada hidayah atau tidak ya....apa kata Allah. Itu sudah di luar urusan kita. Tugas kita hanya menyampaikan dan menunjukan kebenaran.”

Kuhentikan ocehanku diiringi berhentinya motor kami melihat lampu merah di perempatan jalan pusat kota yang mulai ramai dengan asap knalpot baik dari roda dua maupun roda empat. Di sisi kanan jalan terlihat anak penjaja koran menawarkan dagangannya sedang menghampiri para pengendara yang berhenti. Dalam hitungan detik lampu merah sudah berganti dengan warna kuning dan diikuti warna hijau. Kamipun melanjutkan perjalanan. Membela hiruk pikuknya orang-orang yang sudah lalu lalang.

“ Lha wong kenal aja tidak kok jadi tugas kita sih fit... kamu itu bagaimana. ya....tugas bapak ibunya donk....” Yuli menyambung bahasan kami.
“ Maksudku itu bukan wanita itu pastinya. Tapi saat orang-orang sekitar kita jika ada yang kita tau tidak benar, itulah tugas kita untuk mengingatkan. Wanita itu ya...biar diurus lingkungannya sendiri.”
“ Ee...belok kiri non...” Yuli mengingatkanku

Cepat-cepat kubanting setir arah kiri dengan mendadak. Untung di belakang kami tidak begitu ramai pengendara lainnya. Coba kalau ada pasti kami sudah tertabrak.
“ Hehehe....iyaa...jadi lupa jalan nih. Sudah, kamu gimana? Masih menyalahkan wanita itu? Masa enggak kasihan blas. Kasihan...dia tidak bisa memenangkan pertempuran dalam batinnya hingga yang menang setan yang selalu menyesatkan.” sambungku.

“ Ya....kalau dipikir seperti yang kamu sampaikan itu sih.. emang..jadi kasihan juga. Ngeri kalau sampai nafsu kita yang lebih berkuasa. Pasti raja setan merasa merdeka dan tepuk tangan seneng banget.”
“ Makanya jika melihat orang yang berbuat keburukan, jangan membencinya. Malah kita rangkul penuh kelembutan dan kasih sayang. Islam kan Rahmatan lil a'lamiin. Kita bantu mereka menemukan kebenaran. Baik dengan nasehat, atau apa saja yang bisa kita upayakan. Setidaknya dengan doa yang bisa kita berikan. Doa kan gratis.”
“ iya...iya bu nyai... tapi sambil lihat jalannya ya....nanti salah arah lagi. Kebanyakan mikir wanita tadi sih...” sela Yuli mengingatkan karena kami sudah dekat dengan tujuan.
“ Hehehe....” sahutku sekenanya.

Tiba-tiba adegan wanita mabuk di POM bensin itu membayang lagi di benakku. Mulai dia dipapah masuk ke kamar kecil hingga di gendong masuk taxi dan keluar lagi duduk di tepi jalan, dan akhirnya masuk ke dalam taxi dan berlalu begitu saja. Masih lekat wajah cantik dengan kepucatan wajahnya saat menahan pusing dan mual yang mungkin mengaduk-aduk perutnya. Sebenarnya peristiwa itu terjadi hanya sebentar saja di hadapan kami. Jika di kisarkan tidak lebih dari 15 menit. Tapi dalam waktu yang singkat itu mampu menggetarkan hati kami yang menyaksikan. Rasa kasihan datang lagi menyapaku. Sedih tiba-tiba juga sudah menjadi teman dalam hati. Hingga yang ada akhirnya untaian do'a yang kucoba panjatkan

Ya Allah....Tuhan yang penuh kasih
Kasihanilah wanita mabuk tadi ya Allah...
Dengan luasnya ampunanMu, ampunilah dosa-dosanya

Sungguh ya Allah.... dia tidak akan mampu melawan dirinya sendiri
Dia tidak akan sanggup melawan setan yang selalu berbisik dihatinya
Tanpa Engkau memberi pertolongan baginya.

Selamatkan dia ya Allah.....jaga dia ya Allah....
Dia juga hambaMu yang tidak berdaya sebagaimana diriku...
Hanya Engkau yang berkuasa membuka dan menutup hati tiap-tiap anak manusia.

Bukalah hatinya untuk bisa melihat kebenaran
Dan beri kekuatan dia untuk berjalan dalam kebenaranMu ya Allah
Dan bukalah hatinya untuk bisa melihat keburukan serta beri kekuatan dia untuk meninggalkannya.

Turunkan hidayah untuknya ya Rabb....
Ya Allah.....kami semua lemah tanpa pertolonganMu...kami lemah ya Allah...
Lahaulawalahuata ilabillah......


Tak tahan diriku dengan gemuruh di hati. Panas lalu basah sudah kedua bola mataku. Sedih mencoba menguasai hatiku, namun dengan sekuat tenaga kutahan untuk tidak berkelanjutan. Kutenangkan kembali hatiku dengan menyerahkan semuanya pada yang Maha berkuasa nan bijaksana. Allah pasti memberi yang terbaik bagi kami hamba-hambanya bisiku dalam hati dengan menyunggingkan senyuman. Kutarik nafas panjang untuk melepaskan pelukan rasa sedih. Lapang yang ada.

Di depan sebuah masjid yang berpagar warna hijau itu kami berhenti. Yuli turun dari boncenganku dan merapikan krudungnya. Ku parkir motorku di area parkir yang sudah disediakan. Lalu kami berjalan beriringan memasuki serambi masjid yang masih sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat sudah datang. Mungkin sebentar lagi yang lain akan datang. Lalu kami menggabungkan diri sambil menunggu pengajian yang sebentar lagi dimulai. Masih ada waktu 15 menit untuk istirahat. Akh....alhamdulillah, kami tidak terlambat.

****