Jalanan yang biasan lancar mesti arus kendaraan lebih meningkat, kini tak lagi mampu bergerak. Tepatnya padat berisi. Bukan karena arus kendaraan berlipat tiga atau empat kali. Tapi karena ada pembangunan jembatan yang memang sudah rusak berat dan pelebaran jalan.
Deru kendaraan bermotor memadati seluruh penjuru arah. Belum lagi ditambah suara klakson yang tak henti-hentinya berteriak memekakan gendang telinga. Stress muncul mengintip di balik panasnya kepala terkena sengatan sinar matahari yang menahan senyum meledek..
“Huhh...macettt.!!! sebel dech. Mana panas lagi...hhh” keluh Rita
“Sabar ta... “ kucoba menenangkan sepupuku itu.
“Sabar gimana..? Lha uda sumpek gini kok disuruh sabar. Jalan kok ga pernah beres.
“Tapi itu semua
“Kebaikan kita?! Apanya?! Itu semua akal-akalan aja.. sengaja mereka membuat jalan dengan kwalitas yang tidak baik. Jadi gampang rusak, biar ada proyek lagi, bangun jalan lagi. Gitu... !! mereka
“Lha kamu mikirnya kesana ta... jadi bawaannya curiga terus. Mbok jangan buruk sangka. Iya kalau bener gitu kenyataannya. Kalau enggak bagaimana,
“hmm..apalagi kalau ga gitu..?!” dengan masih uring-uringan Rita menggerutu. Aku akhirnya diam aja membiarkan dia bernyanyi dengan lagunya. Dan aku dengan laguku sendiri.
Berlahan barisan kendaraan mulai bergerak. Sudah hampir 20 menit kami terjebak kemacetan. Sebenarnya tujuan kami sudah dekat. Sekitar 500 meter di depan, belok ke kanan sudah kelihatan rumah pakde Didik. Syukurlah tidak lama berikutnya kami mampu lolos dari antrean panjang yang menyesakkan itu. Kami langsung menuju rumah pakde yang tidak jauh dari gang yang kami masuki.
Kulihat wajah Rita masih memerah akibat kepanasan matahari dan kipasan rasa emosinya. Aku hanya bisa tersenyum melihat ulahnya. Dia memang agak keras dan mudah marah, tapi juga mudah redah. Setelah memarkir motor, kami segera memasuki rumah yang kelihatan sepi tapi terasa asri dengan berbagai tanaman segar di halaman dan teras rumah.
“Assalamu'alaikum...” kusampaikan salam pada penghuni rumah.
“Wa'alaikumsalam... Oo.. kalian uda datang. Masuk sini, pakde uda nunggu dari tadi” jawab pakde Didik yang ternyata sedang duduk santai sambil baca koran di ruang tengah.
Sejurus kemudian kami bergantian mencium tangan beliau lalu duduk di sofa dekat pakde.
“Lho! Kamu kenapa ta.. kok seperti habis kebakaran gitu..?” tanya pakde begitu melihat wajah Rita yang masih merah padam.
“Macet pakde. Males aku jalannya jadi ruwet. Ga asyikk...” jawab Rita yang masih cemberut, tapi sudah mulai lega setelah mendapatkan hawa dingin dari kipas angin di pojok ruangan. Sedikit demi sedikit akhirnya urat syarafnya mulai kendor. Bibirnya sudah mulai bisa tersenyum begitu melihat pakde Didik menggoda dengan memonyongkan mulutnya mengikuti Rita yang sewot. Tawa pun akhirnya meledak.
“Ta, kamu ga boleh begitu. Marah dengan keadaan yang tidak sesuai dengan hatimu. Mestinya kamu itu malah mengucapkan terimakasih pada mereka.” jelas Pakde Didik.
“Lho! Emang kenapa kok saya mesti terimakasih sama mereka.
“Iya sih.. mereka emang uda di bayar...dapat uang. Tapi coba dech kamu renungkan... Misalnya tidak ada orang yang mau jadi kuli karena mereka memandang kuli itu kotor, hina, keras, susah dan sebagainya. Lalu siapa yang akan bangun jalan yang kita lewati. Siapa yang bangun gedung, rumah, tempat ibadah, puskesmas, dan sebagainya? Justru kita mesti ucapkan terimakasih pada mereka. Karena mereka mau bekerja keras, mau kotor-kotor, mau payah-payah untuk membangun jalan, rumah, gedung, dan macem-macem, jadinya kita sekarang bisa menikmati hasil karyanya.” Pakde Didik sudah mulai ceramahnya.
Pasti ini panjang dech batinku berkata. Karena pakde Didik memang suka memberi ceramah. Maklum Ustad yang gagal tenar. Jarang panggilan khotba, akhrinya siapa saja yang ditemui pasti di khotbai... Namun bukan berarti apa yang disampaikan hanya angin kosong, berisi juga lho..
“Kalian berdua ya, pakde nasehati. Banyak-banyak tanamkan rasa terimakasih pada sesama. Kita ambil contoh itu tadi. Dulu mana ada jalanan yang enak, aspalan, mulus, termasuk juga jembatan. Sekarang kalian ga ikut angkat batu, nggak ikut angkat semen, tau-tau jalan uda jadi dan kalian bisa mondar-mandir melewatinya tanpa halangan. Apa enggak sudah semestinya kalian mengucapkan terimakasih pada para kuli itu, hehh..? mereka membangun, menghasilkan karya, hargai hasil karya mereka dan ucapkan terimakasih. “ sejenak pakde Didik menghentikan khotbahnya.
Rita nyeletuk” jadi kami mesti menyalami mereka...
“Tidak harus begitu cara kamu menghargai dan mengucapkan terimakasih. Bisa dengan jalan tidak merendahkan mereka dalam sisi hatimu. Itu yang lebih penting. Dan eksploitasikan semua itu dengan tindakan yang santun. Sehingga kamu akan menjadi manusia yang menghormati sesama.” lanjut pakde Didik.
“Tak pikir-pikir, nasib kuli itu hampir sama dengan nasib Tuhan.” tambah pakde Didik memancing rasa penasaran kami.
“Hahh...?! maksud pakde..??” ganti aku yang sedari tadi diam menyimak sekarang ikut bertanya.
“hmm... coba bayangkan. Tuhan kita Allah sudah menciptakan kita, menciptakan bumi seisinya, semua kebutuhan kita diciptakanNya. Kita diijinkan menjalani kehidupan ini sesuka kita dengan semua sarana prasarana dari Tuhan. Tapi apa balasan kita pada Tuhan??!!. Boro-boro kita beribadah seperti sholat, puasa, sedekah atau sebangsanya, ucapan terimakasih saja sama Tuhan jarang sekali kita ucapkan. Kadang sih kita mengucapkan di mulut, tapi hati kita mengingkari alias tidak setulus hati. Bahkan tidak jarang kita malah sering mengeluh dan menyalahkan Tuhan. Bagaimana? Lupa apa nggak ingat....!!” jawab pakde Didik
Kami melirik satu sama lain. Kami membenarkan setiap ucapan pakde Didik dengan nilai kepahaman bathin kami yang semakin luas. Kami tersenyum, tiba-tiba...
“Terimakasih pakde...!!” tanpa kata sepakat sebelumnya kami berbarengan menyampaikan penghormatan kami.
Akhirnya pecah juga gelas tawa kami bertiga. Kami merasakan ada sesuatu yang mengalir dalam hati kami, rasa syukur bersenandung. Terimakasih Tuhan....