Rabu, 28 November 2007

Nasehat Seorang Sahabat

Gemerisik daun yang saling bergesekan melalui jendela kamar yang terbuka lebar menyapaku begitu lembut. Pekatnya malam pun turut menerobos masuk menemani. Sedangkan sang angin kubiarkan memeluku mesrah dibawah sinar lampu kamar yang menatap tanpa enggan untuk berkedip.

Dihadapanku sebuah buku favorit sudah siap menunggu untuk ku baca ulang. Sudah ketujuh kali kubaca buku ini. Entahlah, sangat suka aku membacanya. Rasa nyaman mengaliri bilik-bilik kalbuku.

Tiba-tiba Hpku memanggil dengan nada singkat miliknya. Kutengok siapa gerangan yang kirim pesan di malam yang mulai larut ini. Ternyata Kang Sono, sahabatku yang tinggal jauh di luar kota menyapa dengan sebuah kalimat hikmah pencerah jiwa.
“Bila Allah Swt mencintai seorang hamba, Dia memberinya kesusahan yang banyak. Bila Allah Swt membencinya, dunia si hamba itu dileluasakan (Al-Dudhail bin Iyadh) iki fit.”
Tersenyum aku membacanya dengan tak lupa ucap syukur pada Allah yang telah mengirim Kang Sono untuk memberikan pencerahan di hati. Lalu aku membalasnya “ Alhamdulillah, terimakasih kang. Lalu, bagaimana jika ada orang yang ahli ibadah. Ibadahnya top banget, tapi juga cinta harta. Kasihan jg heran kalau lihat orang yang begitu. menurutmu bagaimana kang?”

Tanpa menunggu lama Kang Sono membalasnya “Cinta harta baik fit, tapi ki2r gak . Qt jg cinta harta nyatanya kerja, kemana2 bawa hp, fit kyai q itu ingin sesuatu kalau gak bagus dan mahal gak mau”
“Jadi boleh ya cinta harta? Terus kalau hartanya di ambil Allah misal melalui kecurian, dan dia sangat sedih karena cintanya diambil. Bgm? Emang boleh cinta selain Allah kang? Kan hati cuman 1. Dan Allah pencemburu, karena itu tidak mau disekutukan. Celakalah jika orang mengaku cinta Allah tapi masih menaruh hati pada yang laen. Bukannya Harta mesti di tangan, Allah yang di hati kang? Walahu'alam.” balasku.

“Hehe Fit, yang gak boleh itu harta masuk ke hati. Fit kamu mau gaji kamu dipotong tanpa sebab. Dan kerja gak dibayar?” balas Kang Sono. Kulihat jam di meja sudah menunjukan pukul 22.00. Kuurungkan niatku membaca buku. Kututup lalu kembali membalas sms kang Sono
“Lho yang namanya cinta itu ya di hati kang. Soal gaji dipotong tanpa sebab. Jika emang itu kehendak Allah, insyaAllah saya terima. Bukankah sebab itu datang dariNya dan akibat itu pemberianNya. Masalahnya 1, kemana kecenderungan kita melihatnya? Pada pemberian apa sang pemberi. Jika pada sang pemberi, disana tiada sedih, kecewa, atau marah. Wassalam.“ kucoba mengakhirinya karena kantuk mulai menyapa, dan pembaringan pun memanggil menawarkan diri.

Belum sempat aku beranjak untuk menutup jendela kamar, Hp melengking lagi. “Coba kamu pindah kerja dengan gaji sedikit kalau mau silahkan besok pagi kamu pindah, itu artinya gak cinta harta gak usah pakai alasan itu yang dilakukan robi'ah”

Belum sempat juga kubalas, sudah datang yang berikutnya “Kalau bisa kamu kerja tapi gajimu untuk fakir miskin itu yang dilakukan ibrahim bin adam. Kalau berani lakukan silahkan.”

Dengan menahan kantuk kucoba membalasnya “Hehe...ngapain pindah jika itu nurutin nafsu. Allah yang menempatkan bukan aku, kamu atau siapa. Allah yang memberikan garisNya atas kehendakNya. Robi'ah dalam garisNya tidak menikah. Apa aku juga mesti begitu? Jika kita masih meniru dari luar bukan menyambut dari dalam diri, hati2, itu mungkin nafsu kita bukan kemauanNya. Uda ya.mau tidur nih. Maaf lahir batin jika ada salah dan suwun. InsyaAllah kapan2 saya pingin maen kesana. Kenalin ama nenek sufi itu ya. Salam sungkem untuk beliau. Wassalam:o)”

Kumatikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur yang lebih redup. Berat kepala dan mataku, segera hendak kubaringkan tubuhku tiba-tiba Hp bernyanyi lagi. Ternyata Kang Sono masih meneruskan “ Loh itu contoh, kalau bgtu kita gak usah contoh nabi. Kan kita baik. Atau shabat, buat apa to nabi udah gak ada. Kamu contoh walinya aja gak mau apa lagi ulama, apa kamu tunggu wahyu. Kaya nabi, apa malaikat jibril?”

Wah, jadi panjang nih. Salah paham bisa jadi...gemingku dalam hati. Akhirnya akupun membalasnya “Iya tentu kita meneladani beliau semua. Tapi ga hantam kromo gitu kang. Kekuatan hati tiap orang kan berbeda. Dan Allahlah yang menguasai hati tiap2 manusia. Wallahu'alam bi showab.”

Kurebahkan tubuhku. Sudah tak tahan dengan rasa kantuk yang menyelimuti. Kulihat jam yang bertengger di meja sudah menunjukan pukul 22.30. Kupanjatkan doa untuk menyerahkan hidup dan mati pada Allah Swt. Ingat sunnah Rosul dengan miring kekanan yang membuatku memiringkan tubuhku menghadap meja yang berada di sisi kanan pembaringan. Tiba-tiba Hp memanggilku lagi.

Kupaksakan diriku meraih dan membaca pesan yang ternyata masih dari Kang Sono.
“Fit katanya ingin praktek, ayo lakukan. Aku dulu kerja di perusahaan selama 3th. Aku keluar di kota bising banyak orang sibuk cari duit gak tahu siang dan malam cari duit terus sampai badan kurus patuh pada bos. Kalau gak mau takut di pecat katanya patuh hanya pada Allah, ya jadinya aku tanpa perintah bebas semau gua. Fit Aku kemarin ditawarin kerja di perusahaan oleh ka2ku yang kebetulan sebagai personalianya. Aku jawab enggak minat. Jangankan kerja, cewek aja gak kepikiran. Yang kutahu bahwa Allah itu ada. Jadi gak usah di akal atau rekayasa gitu. Dikatakan takut ogah. Katanya lek iso tumpak ono dunyo, ojo sampek di tumpaki dunyo.”

Subhanallah...Kang Sono kok jadi seru begini?. Akh...maaf kang saya sudah ngantuk banget. Kapan-kapan kita sambung lagi diskusinya...bisik dalam hatiku sendiri seolah-olah kang Sono pun mendengar bisikanku. Akupun terlelap.

Waktu subuh datang, segelintir orang yang diberi kekuatan olehNya untuk memenuhi panggilanNya kala itu juga. Ada yang terlambat tapi tetap datang menghadap. Tapi Ada juga yang ditutup mati hatinya hingga tak terdengar panggilanNya sama sekali. Semua dalam kuasaNya.

Begitu turun dari jamaah sholat subuh di masjid, kusapa Hp yang kurasakan semalam masih memanggil-manggil dan tidak sempat kuhiraukan lagi. Ternyata Kang Sono yang mengirimkan pesannya di pukul 00.54dini hari.
“Hihihihaha.. Fitri2 orang yang hati hanya ada Allah, maka ia tak akan menilai hati orang lain, wong ia mencintai harta itu yang menggerakan Allah, maka aku bilang baik. Berarti hati masih ada selainnya(ngrasani) berarti kamu merasa dirimu paling....di banding orang lain. Kadang orang yang kamu sangka itu jauh lebih baik darimu. Ini kata orang dulu orang yang menyangka biasanya yang melakukan ketimbang yang disangka. Amit q.”

Tersentak aku membacanya. Hingga kucoba membaca ulang lagi dengan pelan-pelan dan berharap Allah memberi kepahaman atas ilmuNya. Lalu ada sesuatu yang kurasakan masuk dalam hatiku. Berdiam disana dan menemaniku cukup lama. Menerawang pandanganku keluar jendela, lalu tertunduk, sedih, malu, takut, juga harap.

Ya Allah...ya Rabb
Betapa malunya hamba padaMu
Betapa bodohnya hamba di hadapanMu
Betapa lalainya hamba ini dengan kuasaMu


Ya Allah...ya Rabb
Mengapa hamba sibuk menilai hati hambaMu yang lain
Hingga lalai untuk menjaga hati hamba sendiri


Ya Allah...ya Rabb
Mengapa hamba merasa lebih baik dari yang lain
Sedangkan hamba tidak lebih baik dari seekor semut yang begitu berkasihsayang dengan sesamanya.


Ya Allah...
Mengapa hamba sibuk menilai orang lain
Sedangkan hamba sendiri tidak mengetahui bagaimana nilai hamba dihadapanMu.

Ya Allah....ya Rabb..
Leburkan rasa sombong dihati hamba
Lumatkan rasa bangga dihati hamba
Hancurkan rasa ujub yang bertengger di hati hamba
Kikis habis rasa riya di hati hamba
Baik yang samar maupun yang terang


Ya Allah...ya Rabb
Tuhan yang Ampunannya melebihi dosa hamba-hambaNya
Hamba datang dengan setumpuk dosa
Dengan luasnya ampunanMu, Ampunilah hamba
Dengan luasnya kasihMu, kasihilah hamba
Terimalah hamba kembali ya Allah....terimalah hamba....


Airmata telah jadi sahabat menemani dan menyejukan dadaku yang terbenam rasa sesal. Kuraih Hp lalu kubalas pesan Kang Sono “Astaqfirullahala'dhiim....terimakasih Kang. kamu da ingetin aq. Smg Allah mengampuni kebodohanku dan membuka hijab hingga mampu melihat bahwa tiada yang laen yang berbuat selain Allah. Tks ya kang.:o).”
Kuusap mataku yang masih tergenang. Kutatap mentari pagi yang tersenyum lembut penuh kasih. Hamparan kasih terbentang disana. Hamparan yang luas. Seluas RahmatNya yang tiada hingga tiada batas.....


****

Selasa, 13 November 2007

Mengingat-NYA

Mendung yang bergelayut di atap bumi turut menghantarkan kepulanganku dari kantor sore ini. Semilir angin menemani disetiap tapak kaki dan membisikan bait-bait cinta dari alam yang membentang dalam sandiwara kehidupan di dunia. Kulihat ibu telah menunggu dengan menyibukan diri bersama tanaman kesayangannya di teras rumah. Begitu banyak tananaman namun sedikit bunga yang bermekaran. Terlalu teduh dengan bangunan masjid yang kokoh berdiri telah menghalangi sinar matahari pagi untuk memberi nutrisi pada tanaman hingga tidak begitu banyak bunga yang dihasilkannya. Begitu suatu waktu ibu pernah memberi alasan padaku saat kutanyakan perihal itu.

“Assalamu'alaikum......ibuu..” kusampaikan salam sembari memasukan motor ke ruang teras.
“Wa'alaikumsalam.....” ibu menjawab dengan melayangkan senyum padaku. Ibu meletakan selang dan mematikan kran air lalu menghampiriku yang sibuk menempatkan motor.
“Alhamdulillah...nak. Terimakasih ya... tadi pagi sudah matikan kompor. Ibu lho sampai deg-degan gak karuan.” sambung ibu sembari menerima salim cium tangan dariku.
“Ooo...tadi pagi itu. Iyaa.. Ibu berangkat keburu-buru kenapa sih? Sampai lupa belum matiin kompor.” sahutku.

Pagi ini memang sudah masuk tanggal ibu ambil uang pensiun. Dan tadi pagi berangkat lebih awal sebelum aku berangkat karena mbonceng sama Hera. Saat turun dari kamar aroma masakan menyapaku begitu akrab hingga mengundangku untuk menengok dapur. Ternyata kutemukan si kompor masih menyala dengan gagah untuk panasin sayur. Syukurlah aku mengetahuinya, hingga bisa langsung kumatikan. Tidak kebayang juga semisal akupun terlewatkan dan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dengan api kompor yang biasanya bersahabat, mungkin bisa berubah pikiran menjadi jahat. Mengobrak abrik isi rumah dengan lahap. Weehhh.....bisa seru nih.

“Kamu tahu nak?! Ibu ingat kompor masih nyala itu waktu ibu dalam angkot. Rasanya jantung ibu mau copot. Ibu langsung turun ganti angkot arah balik.” ibu menyambung cerita yang rupanya masih anget dalam benak beliau.
“Ibu kok gak coba telepon Fitri untuk nanyain? Kan bisa dari wartel kalo ibu pas lagi gak bawa Hp.”
“Ibu lupa nomor hpmu nak. Poko'nya...ibu khawatir bener. Ibu dzikir sepanjang jalan. Istiqfar.....atau baca apa aja. Ya Allah...ya Allah... tolong rumah saya ya Allah...! Sampai orang-orang di angkot tanya ibu kenapa. Yaa...ibu jelasin lagi ninggalin kompor menyala. Ibu juga minta tolong pak supirnya untuk jalan lebih cepat.” cerita ibu dengan jiwa yang penuh.

Kami mengambil duduk di kursi teras rumah. Kusimak cerita ibu sembari melepas sepatu dan alas kaki. Sesekali aku tersenyum melihat gaya ibu menceritakan serunya kejadian tadi pagi.
“Terus...?” pintaku yang tidak ingin ketinggalan alur cerita dalam penggalan seperti cerita-cerita sinetron di televisi.
“Begitu ibu sampai rumah langsung menuju dapur. Melihat kompor sudah mati, ibu langsung sujud syukur nak... ya Allah.... kaki ibu sampai gemeteran. Ibu takut gasnya meledak. Wahh...gak berani bayangin.”
“Hmm...Ck...ck..Ibu..ibu. Ya Allah...seru banget.” sahutku sambil nyengir sedikit menggoda ibu untuk mengkendorkan ketegangan yang telah terundang datang.
“Iya nak... lumayan lama ibu diam mengembalikan gelisanya hati ini. Kan sudah tua nak. Jadi kalau ada apa-apa gampang was-was.”
“Maaf bu, Kalau itu Fitri kurang setuju.”
“Lho!? Kan bener kalau sudah tua gampang kepikiran bikin hati was-was. Beda kalau masih muda. Kan masih kuat.”

Kuraih tangan ibu dan menggenggamnya erat-erat. Wajah ibu masih terlukis bias ketegangan dari cerita ulang kisah tadi pagi. Seolah-olah ibu mengulangi lagi perstiwa tadi pagi dengan detak jantung yang berpacu sedikit kencang. Mungkin karena terlalu semangat saat menceritakannya dan menjiwai. Sehingga saat ceritanya berlari, jantung turut berlari. Saat cerita bahagia, jantungpun berbunga. Apalagi kalau menceritakan hal yang mengharukan, pasti bawaannya terenyuh hingga tanpa dirasa air mata pun turut nimbrung.

“Bu...menurut Fitri, bukan dari tua mudanya. Kalau tua ato muda, itu yang membedakan hanya kekuatan Fisiknya saja yang lemah. Bukan kekuatan bathin atau jiwa. Semisal sama-sama mendapatkan masalah, jika yang tua jiwanya kuat dengan bersandar pada Allah, pasti dia kuat walau badannya ringkih. Sedangkan yang muda, kalau jiwanya lemah, tidak stabil maka gampang stres, putus asa, bisa jadi malah bunuh diri. Itu contoh dengan masalah yang sama dihadapi dua usia yang berbeda dengan kekuatan jiwa yang berbeda pula.” dengan nada yang pelan kucoba membuka pemahaman ibu.

Ibu tersenyum menanggalkan bias-bias ketegangan yang semula masih terlihat, kini mulai memudar digantikan bias ketenangan. Lalu kucoba meneruskan.
“Seperti tadi pagi, ibu mengetahui kompor belum mati. Ibu gelisa kan?. Padahal ibu juga berdzikir dengan membaca istiqfar dan yang lainnya. Padahal kalau dzikir itu kan mestinya hati ibu bisa tenang. Tapi ibu masih tegang terus.. berarti ada yang kurang beres dari dzikirnya.” kucoba memancing ibu untuk turut mengkoreksi.
“Iya..ya.? Mestinya kan tenang ya nak. Ibu masih belum bisa seperti itu. Ibu masih gampang resah dan was-was nak. Hmmm...bagaimana ya?”

“Dzikir itu kan mengingat Allah bu, dan ibu sudah mengingat Allah pada waktu itu. Tapi masalahnya ibu hanya mengingat namaNya saja.”
“Ibu bingung nak...? Maksudnya bagaimana?” tanya ibu dengan tatap harap untuk kuteruskan. Kini ibu yang mengenggam tanganku. Sesekali tanganku ditarik sebagai tanda ibu meminta aku meneruskan. Ibu memang paling senang kalau mendengar aku mengoceh masalah keimanan atau hal yang berbau agama. Beliau sangat memperhatikan dengan seksama. Kadang aku merasa risih sekaligus geli melihatnya.

“Begini... disaat kita ingat Allah dan menyebutnya, mestinya kita iringi dengan kepahaman kita akan sifat dan perbuatanNya. Ibu ingat Allah... lalu Allah yang bagaimana?! Bukankah Allah itu maha pengasih, maha memberi, maha kuasa, maha menenukan dan maha segala-galanya. Bukankah tidak ada satu hal sekecil apapun yang terjadi itu diluar kehendak dan kuasa Allah? Dan bukankah Allah selalu memberi yang terbaik buat kita?” jelasku yang kadang kelewatan cepat ngomongnya.
“Hmm...cepetnya kalau ngomong. Sini tak kasih cabe merah kaya' mbak Titik biar ngomongnya pelan-pelan. Hehehe... mulai ngerti sih... tapi kurang jelas nak.” sahut ibu dengan tersenyum lebar sambil membebaskan tanganku.

“Tadi ibu ingat Allah. Kan Allah maha mengabulkan do'a, dan ibu sudah berdoa minta tolong kan... Dan bukankah untuk hasilnya kita serahkan sama Allah. Hati mestinya digantungkan pada ALLAH. Ibu juga mestinya ingat, bahwa Allah itu Maha berkehendak. Jika Allah menghendaki rumah ini kebakar, meski ibu upaya bagaimana juga pasti kebakar. Meski ibu ada didalam rumah. Meski ibu terjaga. Pasti Allah buat jalan untuk bisa terbakar. Dan pasti bisa. Namun jika Allah menghendaki rumah ini tidak terbakar, meski ibu tinggalin dalam keadaan bagaimanapun juga, Allah tetap akan menjaganya dengan jalanNya juga. Allah yang mengatur segalanya bu. Dan apapun itu, pasti yang terbaik buat ibu menurut Allah. Itulah pemberian Allah. Nah.... mestinya hati ibu kan bisa tenang kalau semua yang terjadi itu yang terbaik buat ibu dari ALLAH. Gak usah gusar.” Jelasku panjang lebar. Kurasakan kerongkongan begitu kering seperti sedang menempuh jalan yang begitu panjang dan kelelahan.

“Jadi maksudmu ,tadi ibu gak usah balik pulang ya nak? Diserahin sama Allah. Gitu?”tanya ibu mencari lebih jelas dalam menentukan sikap.
“Lho...?! balik pulang itu kan ikhtiar ibu. Jadi ya ga pa-pa. Tapi kembalinya ibu kerumah mesti diiringi dengan hati yang tenang. Kaki tetap melangkah, hati tetap bersama Allah. Diserahin semuanya sama ALLAH. Masa' gak percaya sama ALLAH? Dan hati-hati dengan gelisah atau was-was. Karena Gelisah dan was-was itu salah satu pintunya setan lho bu. Nti pasti dikipasin ama setan. Buntutnya pikiran jadi ruwet dan berujung stress. Tuhh kan..!!” jawabku sambil beranjak berdiri yang diikuti oleh ibu. Kamipun masuk ke dalam rumah.

“Sebenarnya intinya cuman satu bu..” dengan mengambil air minum kucoba meneruskan.
“Apa nak?”
“Yakin bahwa yang terjadi itu Allah yang mengatur dan yakin bahwa Allah pasti memberi yang terbaik buat kita. Sudah kita yakini itu aja. Dan kita sambut setiap pemberian Allah dengan syukur. Beres deh. Hehehehe.... Fitri kaya' kepinteren aja ya bu? Maaf lho bu, Fitri gak bermaksud apa-apa. Sekedar mengingatkan, sekalian ngingetin diri sendiri juga.. Dan itu semua kan teori. Prakteknya emang gak gampang, kecuali mereka yang mendapat pertolongan Allah.. Fitri sendiri juga masih belajar. Ibu ingetin Fitri juga ya.... kalau pas Fitrinya mbleot... Semoga aja Allah memberi kekuatan dan senantiasa membimbing kita ya Bu... ”

“Amien......Ibu itu lho tambah seneng kalau ada yang mengingatkan. Ibu jadi bisa ngerti. Alhamdulillah...Allah sudah kirim Fitri untuk nemenin ibu. Ibu sangat seneng sekali. Bisa nambah keimanan ibu. Kamu jangan jauh-jauh dari ibu ya nak....” kaca-kaca bening di bola mata ibu berkilatan memancarkan haru yang menyembul dari rasa syukur beliau. Sekali lagi beliau meraih tanganku dalam senyum penuh rasa yang aku sulit mengartikan. Haru, bahagia, syukur, sedih, dan kilatan-kilatan rasa lainnya membuat hatiku turut bergidik.

“Akh....jangan berlebihan begitu bu... gak baik. Fitri kan cuman Fitri. Yang suka ngerepotin ibu. Suka godain ibu. Manjanya minta ampun. Masih minta dulang lagi.” ocehku dengan memonyongkan bibir sambil melipat-lipat ujung baju tertunduk malu-malu mencoba buat ibu tertawa melepaskan ikatan rasa.
“Hahahahaha......” tawa kami akhirnya semburat memenuhi ruang tengah dengan aneka warna-warni rasa hati kami.

Kuteguk air dalam gelas yang berada dalam genggamanku. Air mengalir membasahi kerongkongan yang begitu kering. Hawa sejuk menyusuri tubuhku. Oo...Tuhan, inikah sebagian nikmat yang telah Engkau berikan atas diriku yang lemah dan tak bedaya?? Diri yang masih banyak dalam kebodohan dan kelalaian. Ya Allah.... Ampuni dosa hamba Dan Terimaksih atas nikmatMu...terimakasih.

******

Satu Rakaat Dua Putaran

Mas Andik tetangga sebelah rumah bertandang maen ke rumah. Kami bercengkrama di ruang tamu. Biasanya mas Andik akan banyak bercerita soal sejarah Islam ataupun sejarah para nabi. Mas Andik memang suka sekali dengan sejarah ataupun kisah para sahabat nabi atupun ulama terkenal. Kalau sudah cerita begitu aku mendengarkannya dengan seksama. Takut gak ngeh karena aku sendiri tidak begitu menyukai pelajaran sejarah. Waktu sekolah dulu aku sukanya sama matematika. Paling getol kalau urusan angka-angka. Ada rasa penasaran disana. Dari penasaran itulah yang membuatku lebih cenderung memilih bidang matematika. Kalau sekarang sih sudah males pusing-pusing.

“Mas, kamu kan uda beli bukunya Agus Mustofa sampai delapan buku. Udah baca semua?” tanyaku memecah heningnya malam.
“Ya..belum semua Fit. Lagian itu kan bukan bukuku semuanya. Itu buku orang satu rumah. Kami patungan. Masing-masing beli dua dengan judul yang berbeda. Jadi kami bisa tukeran.”
“Oo...gitu. Dari yang aku baca nih mas, disebutkan bahwa semua ciptaan Allah ini ternyata berputar lho. Mulai dari yang besar seperti bumi kita ini berputar dalam porosnya dan mengelilingi matahari hingga membentuk galaxy. Dan dari galaxy berputar lagi mengelilingi yang lebih besar lagi super clueser. Begitu sampai tak terhingga. Sedangkan kalau dari yang terkecil atom dan inti atom, semua berputar. Dan semua berputar secara seimbang. Subhanallah...hebat ya mas?” ocehku.

“Iya hebat.... yang bikin itu semua siapa?! Kan Allah. Dan memang ternyata tidak ada yang diam di alam ini. Benda-benda padat aja, yang kita lihat sepertinya diam, tapi sesungguhnya mereka juga bergerak. Semua bergerak berputar walau tanpa kita sadari. Bumi yang kita pijak ini saja kan berputar dan kita tidak menyadarinya. Sepertinya yang berputar matahari mengelilingi kita. Padahal kita yang mengelilingi matahari. Lucu ya... seperti itu kalau kita dalam kebodohan dan tidak mengetahui kebenarannya. Pasti kita akan terkungkung dengan pengetahuan kita yang dangkal. Bersyukur Allah menunjukannya melalui para ilmuwan.” balas mas Andik melengkapi.

“Dan mas Andik tahu enggak, kalau sholat kita itu juga sebenarnya membentuk gerakan berputar. Satu rakaatnya dua kali putaran lho mas.”
“Masa sih...? kalau ini aku yang belum dengar Fit.”
“Dulu waktu pengajian ataupun pas ikut satu pelatihan aku dapatkan katanya satu kali rakaat itu satu kali putaran. Saat dijelaskan, aku gak mudeng-mudeng. Sampai selepas latihan coba nanya sama temen, dijelaskan juga gak ngerti. Masih gak jelas dan gak faham. Sampai saya itu mikir. Kok Oon banget yo aku ini.. dijelasin banyak orang tapi kok gak ngerti-ngerti. Akhirnya aku nyoba hitung sendiri. Lho...malah ketemu satu rakaatnya dua kali putaran.”

“Coba jelasin, aku biar ngerti.” selah mas Andik.
“Sebentar aku ambil kertas ama bolpoint.” sahutku sembari bangkit masuk mengambil bolpoint dan selembar kertas buram. Lalu kuletakan di atas meja.

“Sekarang mas Andik yang nulis, Fitri yang jelasin ya...biar nanti ketemu hasilnya. Ingetin juga kalau Fitri salah. ”
“Ok...”
“Mulai dari posisi berdiri kita ruku, disini berapa derajat? Sembilan puluh kan? Tulis mas sembilan puluh.” jelasku sambil menggerakan tangan agar lebih mudah dipahami.
“ Iya..”
“Kemudian dari ruku kita berdiri lagi kan? Ini juga sembilan puluh derajat. Tulis mas..nanti terakhir ditambahkan.”
“ Iya..”
“Kemudian dari berdiri kita melakukan sujud. Itu berapa derajat? Seratus tiga puluh lima derajat kan. Bener gak..?? kalau salah bilang. Fitri juga sambil inget-inget takut salah nih.”
“Iyaa... bener seratus tiga puluh lima derajat. Kan sembilan puluh ditambah empat puluh lima. Sudah tak tulis..”

“Terus dari sujud kita duduk berarti keposisi tegak lagi. Itu berapa derajat? Seratus tiga puluh lima derajat lagi kan. Tambah lagi ya..
Kemudian dari duduk kita sujud lagi kan? Berarti sama seratus tiga puluh lima derajat lagi. Tulis mas...jangan kelewatan. Nti ngulangi lagi kalau kelewatan..”
“ Iya...iya.. ini juga sudah ditulis dari tadi. “Sahut mas Andik sembari geleng-geleng melihat cerewetku.
“Nah...yang terakhir dari sujud kita berdiri lagi atau pun duduk dalam artian ke posisi tegak lagi. Ini sama juga seratus tiga puluh lima derajat. Wiss... lengkap. Coba sekarang ditotal semuanya mas. Ketemu berapa?”
“Sembilan puluh dua kali, ditambah seratus tiga puluh limanya empat kali. Hmm....sebentar fiit.”
“Berapa..?”

“ Ketemunya tujuh ratus dua puluh.” jawab mas Andik kemudian menatapku bingung dan menunggu. Aku tersenyum kemudian turut membukuk menekuni kertas buram di depannya.
“Satu putaran itu berapa derajat mas?”
“Tiga ratus enampuluh derajat.”
“Nahh...kan tinggal bagi aja hasilnya tadi. Berarti tujuh ratus dua puluh dibagi tiga ratus enam puluh sama dengan dua. Berarti kan dua kali putaran.” Jelasku sambil tersenyum.

“Hmm.. bener!. Dua kali putaran. Subhanallah.... ternyata sholatpun kita berputar ya...”
“Iya mas... semua berputar tidak ada yang diam. Jika kita diam, maka kita akan tertabrak. Atau jika kita melawan arus putaran....wahh....bisa berabe.” sahutku sambil mengambil makanan kecil yang kusuguhkan.
“Tidak ada yang tidak berputar. Subhanallah...” Mas Andik meneruskan dalam keterkesimahannya.

Berlanjut obrolan kami kesana kemari seakan mengikuti tiupan angin malam yang berputar dalam garis-garis yang telah ditentukanNya, Tanda-tanda yang dibentangkan oleh Allah di sekitar dan didalam diri kita, yang hanya semata untuk kita mengimani keberADAanNya. KeberADAan yang Tunggal. Yang tiada yang lain selain DIA. Yang Maha besar, Maha Agung, Maha Indah, dan Maha segala-galanya...

Rabbana.... maakhalaqta haadaa baathila, subhaanaka faqinaa a'daabannar....
Ya Rabb...
Engkau pemilik segala kuasa dan kekuatan..
Engkau yang menciptakan kami dan yang mengatur kami
Ya Rabb...
Beri kekuatan kami untuk mengikuti putaran-putaran yang telah Engkau berikan atas kami
Jangan biarkan kami terlepas dan terplanting dari garisMu
Eratkan kami dengan berpegang pada TaliMu
Tali keimanam dan ketaqwaan padaMU
Ya Allah....
Kami berserahdiri dalam putaranMu....


******

Jika Allah Berkehendak

Riuh suasana kantor bermula dari obrolan teman-teman yang lagi asyik membicarakan Adi. Adi baru saja tertimpa musibah. Malang nian dia. Adi telah jadi korban para penipu melalui sms yang berkedok mendapatkan bonus duapuluh lima juta rupiah. Padahal penipuan dengan modus seperti itu sudah marak dibicarakan hingga diberbagai media massa. Namun kepalang tanggung, toh kenyataannya Adi terbukti menjadi salah satu korban yang masih terus bergulir.

“Gimana sih...kok bisa kena? Ya Allah...kasihan si Adi.” sesal Ida dengan nada gerah.
“Waahhh.....mau gimana lagi. Wong Adi itu lho, sudah kami peringatkan. Sejak awal dia datang tadi pagi. Dia terus di telepone sama penipunya. Heran kok. Bisa-bisanya dia itu mudah percaya.” Rita menimpali. Seakan aktifitas kantor diijinkan untuk berhenti sejenak demi turut berberduka dengan musibah yang menimpa Adi.
Kegalauan mengitari kami yang saling menatap satu sama lain dengan bahasa rasa sesal, dongkol, putus asa juga marah berbaur teraduk-aduk.

Adi masuk ruangan dengan muka tertunduk lesuh. Pucat pasi masih nangkring di wajahnya yang berkulit putih. Mendung tebal menggelayut begitu manja seakan menawarkan diri untuk tetap setia menemani.
“Bagaimana Di?” Yulia bertanya dengan hati-hati.
Adi duduk menghadap meja kerjanya dan tetap menunduk. Seakan ingin merasakan sendiri kemelut yang ada di hatinya. Bulir bening mengambang dari sudut matanya dan cepat-cepat dia menghapus sebelum semua rekan kerja memergokinya.

“Ya...mau bilang apa Yul, tabunganku habis dalam hitungan detik dan itu terjadi di depan mataku sendiri. Ya Allah...saya bingung mau bilang bagaimana sama istriku.” dengan suara pelan dan nafas yang lemah Adi mencoba untuk tetap tegar.
“Ada berapa juta duit tabunganmu?” Rita turut bertanya
“Ada sekitar tiga juta. Untung saya memberikan nomor rekening yang itu. Coba kalau saya memberi rekening yang satunya. Wah...bisa mati saya. Sudah duitnya lebih banyak, itu juga duit berdua dengan istri saya. Untuk yang ini saya tidak berani ngomong sama istri saya. Biar jadi tanggungan saya sendiri.” Adi menjelaskan dengan memutar-mutar pena yang ada di tangannya. Seakan-akan dia meminta pena itu untuk turut merasakan kepedihan hatinya.
“Di...saya itu heran. Bukankah kamu sudah diperingatkan sama Eko, Catur, Rita, Ari,dan banyak orang lagi yang sudah mencoba mengingatkanmu. Kamu kok enggak mau denger itu lho..saya itu heran. Sebenarnya apa yang kamu rasakan sih?” Yulia mencoba untuk menyelidik.

Kucoba mengikuti terus apa yang mereka sampaikan dengan berbagai alur cerita yang kadang sepenggal, namun akhirnya bisa saling melengkapi dan menjadikan cerita yang utuh. Adi menarik nafas panjang memandang kami dengan kekalutan mata yang sayu. Masih jelas terlihat bayangan awan kelabu bersamanya.

“Entahlah...Yul. Seakan-akan telingaku ini terkunci hingga tidak sanggup saya mendengarkan nasehat kalian. Sudahlah...Saya mencoba untuk ikhlas menerima ini semua.” Adi mencoba memupuk kekuatan.
“Kamu tadi pas di dalam ATM juga kan diperingatkan sama Anton sih..?!! Tapi kamu sempat marah-marah. Makanya lain kali hati-hati. Wong penipuan semacam itu lho sudah menjamur kok kamu bisa-bisanya gak ngerti.” Rita menghujani dengan sedikit menyalahkan dari rasa jengkel yang nasehatnya tidak diindahkan oleh Adi.

“Sudah Rit, kamu jangan marahin Adi terus. Kasihan dia. Sudah kena musibah kok malah kamu marahin. Emang kalau kamu marahin gitu duitnya bisa balik apa?” Eko mencoba membelah sahabatnya. Eko bangkit dan menepuk pundak Adi memberi kekuatan moril.
“Yang sabar ya Di...” Eko mencoba menyalurkan ketenangan bathin miliknya. Adik menerimanya dengan menggangguk lemah.

Hening menyelimuti kami dengan alam pikiran masing-masing. Kucoba menggabungkan semua penggalan cerita dan membaca makna dari lukisan yang telah Allah goreskan pada hambaNya yang lemah dan tak berdaya ini. Hmmm....pelajaran apa yang ingin Allah berikan pada kami semua. Itu yang kucoba untuk mencarinya. Masih kutatap wajah pucat milik Adi dengan kelesuhan hidup yang harus dia jalani. Dicobanya untuk menyongsong langkah kaki pada babak berikutnya, tapi masih terasa berat beban dipundak yang merangkulnya.

“Dii...yang sabar ya...jadikan semua pelajaran bagimu.” keluar juga akhinya kata-kataku untuknya. Kucoba dengan sepenuh hati membantu membelai jiwanya yang lara.
“Iya Fit..terimakasih. Semua akan saya jadikan pelajaran.” sahut Adi menatapku mencari teman untuk membagi dukanya. Dan kucoba menerima tawarannya dengan tersenyum dalam ketulusan.

“Pelajaran yang bagaimana Di..?” kucoba menggalih apa yang telah terajut dalam benaknya dari apa yang telah Allah berikan.
“Yaa... saya harus lebih hati-hati .. saya tidak akan mudah percaya dengan hal seperti itu lagi. Dan untuk saat ini saya coba untuk mengikhlaskannya.” jawab Adi yang memaksakan hatinya untuk tesenyum walau kurasakan getir.
“Bagus Di... harus begitu. Tapi ada satu pelajaran yang terlupakan olehmu .” dengan tersenyum kusampaikan mengundang pertanyaan Adi dalam kebingungan.

“Pelajaran yang bagaimana maksudmu Fit?” Adi balik bertanya.
“Kamu ingat lagi. Betapa kita semua teman-temanmu berupaya untuk menyelelamatkanmu dari musibah itu. Tapi toh, tidak ada yang bisa.” kutarik nafas mengatur ketenangan dalam batinku dengan harapan bisa berbicara seiring dengan kata hatiku. Kuingin hati yang memimpin ucapanku. Akhirnya dengan tersenyum kuteruskan.
“Di...jadikan pelajaran, bahwa jika Allah sudah menghendaki kamu terkena musibah, disana berapapun manusia yang berserikat ingin menolongmu tidak akan ada yang sanggup mengeluarkanmu dari musibah itu. Tidak akan!! Allah yang menentukan dan Allah pula yang akan menyelesaikan. Jadi kamu sabar ya... Mohon kekuatan padaNya untuk sanggup bersabar. Kehidupan ini terus berjalan. Dan tidak semuanya sesuai dengan keinginan kita. Ada kalanya kita diberikan nikmat, adakalanya kita mendapatkan musibah, dan disana Allah mau kita untuk bersabar serta mensyukuri apapun pemberianNya. Karena semua itu ujian buat kita. Semoga Allah memberi kekuatan padamu untuk menghadapi ini semua. Dan satu lagi Di, kita jangan berhenti memperbaiki diri. Karena dengan begitu InsyaAllah semua akan baik-baik saja. ” paparku mengutip ceramah ustad yang tadi pagi kudengarkan.

“Iya Fit.. InsyaAllah. Saya akan mencobanya. Terimakasih ya..” sahut Adi sembari tersenyum.
Sambil lalu yang lainnya memperhatikan dan menyimak percakapan kami. Sejurus kemudian kami sudah tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Seakan-akan cerita Adi sudah tidak menarik perhatian kami lagi. Sedangkan waktu terus berjalan dengan cerita-cerita yang selalu tertulis dan terlukis dalam garis kehidupan tiap-tiap anak manusia. Kadang sedih kadang bahagia. Dan semua tetap kan indah jika dirasakan bersamaNya. Ya... bersamaNya...

Ya Allah...Semoga Engkau beri kekuatan Adi menghadapi ujianMu ini
Dan semoga ujian ini bisa menghantarkan dirinya untuk bisa lebih dekat denganMu
Dekaatt...hingga benar-benar dalam pelukanMu...
Amien...

*****

Ulang Tahun Lily

Riuh tepuk tangan dan nyanyian selamat ulang tahun dari anak-anak kecil yang duduk rapi di teras rumah menambah semarak suasana perayaan ulang tahun Lily yang ke-1 tahun. Ruang tamu, teras bahkan sampai ke jalanan dipenuhi tamu undangan baik dari kalangan keluarga, teman maupun tetangga kanan kiri. Sekitar dua ratus lima puluh undangan telah disebar mas Wawan demi merayakan hari kelahiran buah hatinya. Sekalian
halalbihalal dengan keluarga kata mas Wawan memberi alasan pada kami.

Dengan menggunakan baju putih, sepatu putih dan rambut dikuncir berdiri menambah lucu wajah Lily yang selalu dalam gendongan mba Zia. Matanya berputar-putar melihat sekeliling yang begitu ramai yang setiap pandangan selalu tertuju padanya. Mungkin bingung, mungkin sedikit tidak mengerti ada apa gerangan dengan keramaian yang ada. Tapi dari sorot matanya terlihat Lily sangat menikmati suasana gempita itu dengan sesekali mengembangkan senyum dibibirnya.

Usai acara, mas Wawan yang sedari tadi berpesan padaku untuk mencarikan panti asuhan untuk berbagi rasa bahagia dengan memberi makanan dan kue pada anak-anak panti memastikan lagi.
“Fit, bagaimana? Panti Asuhan mana?” Tanya mas Wawan.
“Walah mas, ternyata musim lebaran begini sulit cari anak panti. Pada mudik itu mas. Sudah lebih dari lima Panti Asuhan yang dekat sini kuhubungi ternyata pada mudik. Masa’ cuman tiga atau lima anak aja. Hmmm……mana lagi ya..” sahutku sembari membolak balik catalog Panti Asuhan seSurabaya yang kudapatkan dari BKPPAIS beberapa waktu yang lalu. Benar-benar memudahkan kami dengan diterbitkan catalog Panti Asuhan seperti ini. Sangat bermanfaat. Benakku berguman sendiri dengan terus menyusuri nama-nama panti yang mesti kuhubungi lagi.

“Coba PA Al-JADID ini ya mas”
“Ya uda sembarang aja. Yang penting makanan ini bisa kita salurkan. Enggak menyangka liburan lebaran begini anak-anak panti juga pada liburan ke keluarganya.”
Alhamdulillah…ternyata di PA Al-Jadid masih ada anak-anak panti yang jumlahnya lebih banyak dari PA yang lainnya. Sekitar 22 anak termasuk dengan non panti yang tinggal di sekitar lingkungan panti. Begitu informasi yang kudapatkan dari pengasuhnya. Akhirnya kami pun menjatuhkan pilihan mengirim makanan dan kue pada PA Al-Jadid yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kami. Disamping itu mas Wawan juga mengajak menyebarkan snack yang masih banyak ke panti-panti yang lainnya. Mesti tidak ada anak panti, tapi kalau snack bisa bertahan lama. Jadi dititipkan pada pengasuh untuk diberikan pada adik panti saat mereka datang. Begitu mas Wawan memberi alasan padaku. Akhirnya malam itu bersama beberapa teman mas Wawan dan juga mas Yuda kami keliling ke panti-panti.

Haru menyapa kami saat sudah berada di tengah-tengah anak panti dengan segala kepolosan dan mimik yang mengundang empati kami. Kami berkumpul di mushola dengan membentuk lingkaran. Salam dan sedikit penjelasan kusampaikan pada adik-adik panti yang kebetulan malam itu pengasuhnya sedang mengisi pengajian di luar sehingga tidak bisa menemani kami. Hanya kami dan adik-adik panti. Dan itu membuat kami lebih leluasa memperhatikan mereka dengan segala tingkahnya yang masih polos, malu-malu dan salah tingkah dengan perhatian yang kami berikan.

“Kok gak mudik?” tanyaku.
“Tidak..” jawab salah satu dari mereka.
“Asalnya mana?” mas Agra teman mas Wawan turut bertanya
“Lampung.” Jawab yang lainnya.
“Ooo……jauh sekali. Apa karena asal kalian jauh itu yang membuat kalian tidak pulang?” tanyaku yang mulai tertarik untuk menyimak.
“Iya..” jawab mereka dengan polos. Terenyuh sekali hati kami mendengarnya. Disaat kami bisa berkumpul dengan keluarga di hari lebaran seperti ini, ternyata tidak bagi mereka. Mereka tetap dipanti. Mereka jauh dari keluarga, entah masih atau tidaknya orangtua mereka.

“Ada nggak yang saudara kandung disini?” Tanya mas Wawan yang sedari tadi diam dan kebanyakan menundukan pandangan. Sepertinya mas Wawan tidak begitu tega melihat mereka. Diam dalam lisannya, merintih dalam hatinya yang turut piluh tersentuh.
“Ada…ini sama ini..” jawab salah satu dari mereka dengan menunjuk pada dua anak yang satu laki-laki sebagai kakak dan yang satu perempuan sebagai adiknya. Dan hanya dia satu-satunya perempuan yang ada pada waktu itu. Dia selalu menunduk dan malu-malu. Selalu menjauh dari teman-temannya.

Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang terus bergantian kami lontarkan demi ingin lebih mengetahui mereka. Kamipun meminta mereka menyebutkan satu per satu namanya. Dan lagi-lagi sikap lucu yang mereka tunjukan dengan saling dorong mendorong untuk menutupi malu-malu dan salah tingkah mereka. Tidak jarang kami memberikan guyonan yang menyegarkan hingga gerrrr…..tawa kami turut menghiasi malam yang semakin larut dalam kepekatan. Dan kami sangat menikmati suasana itu dengan selimut haru yang masih setia menemani.
Selanjutnya kami berdoa bersama. Kami meminta barokah doa adik-adik panti untuk mengiringi keberkahan acara ulang tahun Lily. Khususnya keberkahan bagi keluarga mas Wawan dan mbak Zia sebagai sohibul hajat. Pelan-pelan kucoba melukiskan guratan doa untuk mas Wawan sekeluarga yang diamiini oleh semuanya. Kami tenggelam dalam hikmatnya harap yang kami gantungkan padaNYA ALLAH, Tuhan yang selalu memberi dan mengabulkan segala permintaan. Dzat yang Maha kaya, yang tiada pernah habis kekayaanNYA walaupun semua permintaan hamba-hambaNya dipenuhiNYA. Subhanallah...... Maha suci ALLAH dengan segala kemulyaanNYA.

Dirasa cukup, kamipun berpamitan pada adik-adik panti. Sebelum beranjak pergi mas Jun yang sedari tadi tidak begitu banyak komentar merogo saku dan mengeluarkan sejumlah uang dan diberikan pada salah satu anak panti yang lebih besar dengan sebelumnya berpesan untuk dibagi bersama yang lain.
Akh…….anak panti selalu menggugah hati dan jiwa. Dan memang selalu begitu. Mengetuk-ngetuk pintu hati siapa yang melihat dan memperhatikannya. Dan mereka yang mau membuka hati, pasti akan tergerak dan memberi. Yaa…….memberi dan berbagi dari apa yang telah Allah titipkan untuk kita miliki, gemingku dalam hati.

Kami tinggalkan PA Al-Jadid dan melanjutkan ke panti-panti yang lain yang sudah ditunjuk oleh mas Wawan untuk membagi snack yang masih seabrek. Malam yang indah di bulan Syawal ini. Ulang tahun Lily yang jatuh tepat tanggal tigabelas tepat jatuh di hari lebaran. Keberkahan Idul Fitri keberkahan untuk Lily. Semoga bisa menjadikan Lily kecil kelak menjadi seorang wanita yang sholeha dengan kuatnya iman dan ketaqwaan pada Allah Swt. Selamat Ulang Tahun Lily……………

******

Pelajaran di KA

Berjubel para penumpang yang berebut masuk membuat pintu gerbong kereta yang bersandar di stasiun KA di kota kelahiran Bung Karno inipun terasa sangat sempit walaupun hanya untuk satu badan orang. Kami memang sudah berencana di hari kedua lebaran tahun ini akan mengunjungi Eyang kakung dan Eyang Putri dengan naik KA. Dan hal yang tidak pernah kami rasakan sebelumnya kini kami mencoba menikmatinya meski dengan banyak rasa yang mengiringi selama perjalanan. Belum lagi bersamaan dengan hari mudik nasional yang membuat kami gerah karena kami harus berdesakan dan berjubel-jubel saling dorong. Sementara kemoloran jadwal keberangkatan kereta juga membuat kami merasa lebih lelah beberapa kali lipat ketimbang biasanya. Hal-hal yang terjadi di musim mudik seperti ini mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka yang sering mudik saat lebaran tiba. Sendangkan kami yang selama ini hanya menyaksikan di layar televisi, kini waktunya kami berperan sebagai pemainnya. Jarak yang bisa ditempuh selama empat hingga lima jam, jika waktu lebaran tiba akan bisa sampai delapan jam kami bergoyang-goyang diatas kereta yang pengap sesak dengan hiburan desah para penumpang dan aroma keringat yang bercampur parfum beraneka rasa. Wuiihh……..

Berbeda dengan saat kami berangkat kemarin. Karena kami mendapatkan awal keberangkatan kereta di stasiun semut. Dan dengan sengaja juga kami berangkat lebih pagi sehingga kami tidak begitu susah menemukan bangku kosong bagi ibu, mas Wawan, mbak Zia, juga aku sendiri. Sedangkan lili yang masih berusia satu tahun bergilir duduk dipangkuan kami menyesuaikan hasrat hati si kecil. Kami bergantian menghibur lili apabila telah kami tangkap mimik jenuh dengan pengap dan sesaknya gerbong KA yang tidak jarang berhenti begitu lama hanya untuk menurun-naikan penumpang ataukah hanya karena kres dengan KA yang lainnya.

Untuk kali ini setelah berhasil menerobos masuk kami berlahan bergeser menuju tengah gerbong yang sebenarnya juga sudah penuh para penumpang. Ibu di depan kemudian disusul mbak Zia dengan menggendong lily. Kuikuti di belakang dan mas Wawan yang tadi memberikan jalan kami menerobos para penumpang untuk memasuki pintu gerbong yang berdesakan kini mengawal kami dari belakang. Alhamdulillah akhirnya begitu sedikit bergeser ke arah tengah seorang bapak berdiri dari tempat duduknya mempersilahkan mbak Zia dengan lily untuk menempati tempat duduknya. Kami lega mengatahui hal itu dan tidak lupa mengucapkan terimakasih pada si bapak. Aku jadi ingat selama perjalanan berangkat kemarin, mas Wawan pun banyak melakukan hal demikian. Mesti dia sudah mendapatkan tempat duduk, begitu melihat ibu-ibu yang mengggendong bayi, mas Wawan langsung berdiri memberikan tempat bagi mereka. Sampai akhirnya mas Wawan sendiri tidak mendapatkan tempat duduk dan sesekali bergantian dengan kami atau dengan sedikit berdesakan hanya menempelkan pantat demi menghalau penatnya kaki. Dan sekarang, berganti kami yang tidak mendapatkan tempat duduk, dan kami menemukan orang –orang yang memiliki jiwa yang terpanggil hingga berkenan mengikhlaskan tempat duduknya untuk yang lain.

Mungkin tidak jarang hal demikian kita temui, tapi tidak sedikit juga kita menemukan orang-orang yang tidak mau berbagi apalagi mem beri dari apa yang dirasakan sudah menjadi milik atau haknya. Jika hati tak bergerak, maka tiada bisa kita berharap banyak tangan dan kaki untuk turut bergerak. Apalagi urusan dalam kebaikan. Tidak mudah menemukannya.

Aku sendiri berangsrut mendekati ibu yang berdiri di samping mbak Zia. Kuletakan tas besar miliku di rak atas tempat yang disediakan untuk barang-barang bawaan kami. Karena tanganku belum mencukupi untuk menjangkau rak, maka aku bergeser masuk di tengah tempat duduk para penumpang.
“Permisi bu, pak….nyuwunsewu…” permintaan ijinku sambil menebarkan pandangan kesekeliling. Sebagian mereka membalas dengan tersenyum dan anggukan. Sebagian cuek hanya melirik sekilas kearahku.
“Sini mas tas ranselnya tak naikan.” Kutawarkan pada mas Wawan. Akhirnya semua tas besar bawaan kami, sudah mendapatkan tempat. Kami lebih ringan walau berdiri kami hanya membawa tas mungil di tangan.
Jika waktu berangkat kemarin aku langsung duduk dan tidak begitu hiraukan dengan penumpang yang lain. Berbeda dengan waktu pulang. Dengan berdiri aku bisa melihat para penumpang hingga yang jauh berdiri maupun duduk. Entah mengapa, aku merasa nyaman dan senang dengan kondisi itu. Senyuman terus tersungging di bibirku menyaksikan pemandangan yang tidak tiap hari bisa kunikmati ini. Bersyukur aku ditempatkan Allah di tengah-tengah bangku duduk para penumpang, sehingga tidak terganggu dengan para penjual yang hilir mudik membelah para penumpang untuk menawarkan dagangannya. Sebagian ada yang menggerutu dengan ulah para pedagang yang main srodok hingga ada penumpang yang oleng karena tidak mampu menahan keseimbangan badan dengan guncangan kereta.

Di depanku seorang ibu dengan memangku anaknya mencoba memejamkan mata. Tapi malang, si anak yang semula tertidur pulas, malah terbangun dan merengek. Biji-biji keringat mengumpul di kening, leher dan lengan si anak. Gerah pasti jawaban yang tepat untuknya. Si ibu dengan mengguncang-guncang tubuh mungil itu memberikan botol susu yang diambil dari tas tentengnya.
“Kasihan bu, adhiknya gerah. Kipasnya mana bu….. boleh saya kipasin..” kucoba menawarkan diri.
“Tidak punya mbak.” dengan tersenyum ibu muda itu menjawab. Kucoba membantu dengan mengibas ibaskan tanganku. Tapi tentu tidak banyak angin yang kuhasilkan. Kutanggap ibu yang duduk di bangku belakangku memegang sebuah topi milik anaknya yang kebetulan tidak sedang dipakai.
“Bu..bisa pinjem topinya….. ini adhiknya kasihan. Kepanasan……keringatnya banyak sekali.” Pintaku pada ibu tersebut.
“Oo…iya mbak…silahkan”
“ Terimakasih.”

Kuraih topi itu dan kugunakan untuk kipas-kipas adhik kecil yang ada di depanku. Ibu muda itu tersenyum melihat ulahku. Kami saling tersenyum dengan menyaksikan si kecil yang mulai tenang. Tenang yang dia rasakan, ternyata menular pada kami yang memperhatikannya. Kami pun turut lega dan tenang. Sudah tidak rewel dan tidak merengek-rengek lagi. Nikmat dan bahagia yang kurasakan semakin membunca kala bisa turut berbagi dengan yang lain. Ternyata dengan bersama yang lain dan mau membagi walaupun itu sedikit, jika dilakukan dari dalam hati akan luar biasa rasa yang timbul untuk kebahagiaan jiwa. Kubandingkan dengan saat perjalanan berangkat aku lebih banyak duduk dan tidur. Sibuk dengan diriku sendiri. Tidak begitu banyak memberi manfaat bagi orang lain. Dan disaat diri bisa memberi manfaat bagi yang lain, disana satu makna terlukis indah yang menyembulkan rasa bahagia dari dalam hati. Hmmm……Alhamdulillah ya Allah…. Saya bisa merasakan nikmat kala bisa memberi manfaat bagi yang lain. Sehingga menolong, membantu dan menjadi jalan demi kebaikan orang lain adalah satu kesenangan bukan jadi satu beban. Alhmdulillah…….hatiku berbisik dalam senyuman.

Disisi lain kulihat mas Wawan berdiri disamping ibu. Kebanyakan kulihat mas Wawan memeluk ibu untuk melindungi ibu dari dorongan penumpang lain atau para pedagang yang lalulalang. Ibu sendiri satu tangan memegang sandaran kursi sedangkan satu tangan memegang lengan mas Wawan. Sesekali mereka bercakap-cakap. Dan mas Wawan sering bercanda hingga kami tertawa geli. Panasnya gerbong kereta terkalahkan dengan hangatnya kebersamaan kami yang tidak setiap hari berkumpul. Hanya kurang lebih satu minggu mas Wawan dan mbak Zia berlibur ke Surabaya di lebaran kali ini. Sebentar lagi mereka meninggalkan kami dan kembali ke Bali tempat pilihan merantau mereka. Tak heran ibu terlihat senang dan bahagia bisa berkumpul bersama-sama mesti tidak semua anaknya bisa berkumpul. Mas Edi, mas Hari, dan Mbak Cici untuk tahun ini belum bisa ke Surabaya. Semoga untuk tahun depan kami bisa berkumpul. Itu harapan ibu yang selalu diucapkan padaku.

Di stasiun Tulungangung tempat duduk depan mas Wawan dan ibu berdiri penumpangnya turun. Ada tiga bangku kosong disana. Ibu memanggilku untuk menempati tempat duduk tersebut. Mbak Zia dan Lily juga akhirnya berpindah tempat duduk dekat kami. Alhamdulillah…akhirnya kami mendapatkan tempat duduk hingga kami tidak perlu berdiri selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih delapan jam.
Kusandarkan punggung dan melihat keluar jendela. Rumah-rumah penduduk berlarian menjauh dan tertinggal. Sedang kereta terus melaju kencang dan tetap berada dalam rel. Pandanganku menerawang dengan pikiran melayang mencoba merenungi ayat-ayat Allah yang terhampar ‘ehmm….coba kalau kereta ini berjalan di luar rel yang sudah ditentukan..... pasti sudah kacau dan gak mungkin sampai pada tujuan. Mungkin itu satu gambaran buat umat manusia. Barang siapa yang hidupnya berjalan di luar rel yang telah Allah tentukan pasti akan kacau dan tidak akan pernah sampai pada tujuan. Namun barang siapa yang berjalan dalam rel-rel yang telah Allah tetapkan, maka dialah yang selamat. Tapi… Sayang banyak orang yang tidak menyadari hal itu.

Ya….Allah…...
Semoga Engkau beri kekuatan kami untuk selalu berjalan di rel-rel yang telah Engkau tentukan.
Semoga kami tidak akan pernah melangkah menjauh atau bahkan meninggalkanMu.
Engkaulah tujuan kami ya Allah…….
Engkau tujuan kami …..
Tuntun dan bimbing kami untuk bisa sampai padaMu
Jangan kami terbelokan oleh yang lain
Jangan kami telena dengan nikmat dan ujian walaupun itu datangnya dariMu dan suruhanM….
Karena itu bukanlah tujuan kami. ….
Hanya Engkau ya Allah………..hanya Engkau tujuan kami
Dan hanya Engkau pulalah yang bisa membawa kami sampai padaMu
Lahaulawalahuata ilabillahil aliyil a’dhiim….
Lahaulawalahuata ilabillahil aliyil a’dhiim….
Hasbiallah…..Hasbiallah…..Hasbiallah..
Alaihi tawakaltu wahuwa rabbul arsyil adhiim…

****