Rabu, 30 Januari 2008

Tahajud di Pasar


Selepas sholat subuh langsung kutanggalkan mukenah lalu kulipat rapi dan meletakkannya di atas sajadah yang terhampar di sudut kamar. Dingin udara pagi membelai lembut kulitku melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Bergegas kumempersiapkan diri untuk turut pergi ke pasar menemani ibu belanja. Hari ini ibu ketempatan arisan PKK, jadi kami harus memperisapkan jamuan untuk itu. Kukenakan kerudung motif bunga-bunga warna putih. Kuambil cermin lalu kuamati sebentar. Hmmm...sipp uda manis kok gemingku dalam hati yang tersenyum menghibur diri.

Ibu ternyata lebih sigap daripada aku. Beliau sudah menunggu di depan rumah. Dengan meliuk-liukkan badan ke kanan dan kekiri ibu mencoba melakukan pemanasan sebelum kami berjalan-jalan pagi menyusuri jalanan arah pasar.

“ Ayoo....bu” ajaku sambil berlari-lari kecil.
“ Sudah di kunci nak pintunya?” sambil tersenyum ibu bertanya memastikan
“ Sudah...” jawabku

Kami berlari-lari kecil melewati rumah-rumah yang masih tertutup rapat. Hanya sebagian kecil yang sudah terbuka pintu rumah yang kami lalui. Sengaja kami tidak menggunakan alas kaki agar kaki kami bisa langsung bersentuhan dengan aspal jalan yang tiada pernah mengeluh saat kami injak-injak tiap kali melewatinya. Sesekali aku berhenti berlari dan jalan sekenanya. Capek juga ternyata walau hanya berlari-lari kecil. Beda dengan ibu yang terus berlari. Walau dengan langkah pendek-pendek namun beliau terus tanpa berhenti. Istiqomah.

Selama menyusuri jalan ke pasar ibu selalu mengulang-ulang cerita indah saat bersama almarhum ayah. Ibu sangat terkesan dengan kenangan-kenagnan indah yang dilalui kala ayah masih ada. Sementara aku menimpali dengan sesekali menggoda ibu. Kami terlihat bukan seperti ibu dan anak, tapi lebih pas bila disebut teman akrab atau sahabat. Karena derai tawa kami sering terdengar renyah menyapa daun-daun pohon yang kami lalui.
Sesampai di pasar, kami mencoba membela orang-orang yang sudah banyak mengisi ruang di jajaran stand para pedagang. Ada juga sebagian pedagang yang masih terlihat baru datang dan membuka barang dagangannya. Kami terus melewati orang yang hilir mudik mencari masing-masing kebutuhannya. Sedangkan kami mencari penjual lontong yang tempatnya di ujung barat dekat pertigaan.

“ Hmm...nak, orang-orang ini jam berapa ya berangkat dari rumah, sekarang mereka sudah ada di pasar untuk jualan. Apalagi yang jual makanan mateng. Bisa -bisa jam satu malam mereka sudah repot masak.”
“ Mungkin mereka sebelum adzan subuh sudah ada di sini bu... setidaknya jam tiga mereka sudah siap-siap.”
“ Dulu ibu sama ayah pernah jualan nasi juga. Jam satu sudah bangun masak sampai subuh. Lepas subuh kami baru nitipkan nasi ke pasar atau langganan. Capek nak, akhirnya kami berhenti karena sudah gak mau repot-repot lagi. Wongya anak-anak sudah pada mentas semua. Jadi kan gak ada tanggungan. Mending kami habiskan untuk sholat dan mendekatkan diri sama Allah. Menikmati masa pensiun.”

Dengan tersenyum kutatap wajah wanita yang penuh guratan kisah kehidupan selama lebih dari enam puluh tahun ini. Wanita yang beberapa tahun belakangan ini telah mengisi hari-hari indahku. Wanita yang ditakdirkan Allah untuk mengajari arti kelembutan. Wanita yang selalu memompa semangatku. Wanita yang senantiasa mencurakan kasihsayangnya dikala aku jauh dari ibu kandungku.

“ Bu..., para pedagang ini juga tahajud lho mesti mungkin tidak mendirikan sholat. Mereka tahajudnya di pasar.”
“ Hehehe...Kamu ini nak, aneh-aneh. Masak bisa tahajud dipasar.”

“La iya. Pinjem istilah kan boleh. Bukannya selama mereka dalam melaksanakan aktifitasnya itu karena Allah mak termasuk ibadah? Bayangin bu, misal orang yang jual sayuran itu, mulai dari bangun tidur meluruskan niat bahwa apa yang dia kerjakan malam hari ini semata-mata karena Allah yang telah memberikan takdir padanya sebagai pedagang, sebagai jalan turunya rejeki untuk kehidupan keluarganya. Apalagi di setiap gerak dan langkahnya diiringi dengan do'a-do'a pengharapan pada Allah. Misal mau keluar rumah saja dia berdoa 'Ya Allah...saya pergi kepasar malam ini hanya untuk mencari rahmat dan ridhoMu. Semoga Engkau turunkan atas kami berkahMu.' Dengan begitu kan dagangannya penuh dengan barokah.”

“Iya ya nak, yang Allah lihat itu kan niatnya ya... Semisal kita bangun malam sholat tahajud tapi jika itu kita niatkan bukan untuk Allah berarti itu kan masih kurang baik. Kurang Ikhlas. Bisa-bisa lebih baik yang pergi ke pasar dengan meluruskan niat untuk memenuhi ketentuan Allah yang telah memberi takdir padanya sebagai pedagang. Gitu ya nak..?”

“Bener sekali bu... kita yang sering salah menilai. Coba kalau nuruti nafsu kita, kan kita lebih merasa baiknya orang-orang itu pada bangun malam untuk sholat tahajud dan waktu subuh kita penuhi masjid untuk bejama'ah. Duuhhh senengnya lihat orang-orang pada beriman dan rajin ibadah. Padahal kalau nurutin nafsu kita begitu, bisa-bisa pasar ini sepi gak ada yang jualan. Terus bagaimana kita untuk memenuhi kebutuhan. Kan repot.”

“Sebenarnya semua kan sudah diatur oleh Allah sedemikian rupa. Ada yang menjadi ini, ada yang menjadi itu. Semua pada tempatnya masing-masing. Tinggal kita pada tempat kita seperti apa. Apakah kita menerima, ridho dengan ketentuan yang Allah berikan pada kita? Semua peranan dari Allah, dan kita jadikan peranan itu untuk Allah juga. Dan jika kita Ikhlas menerima, tentunya kita akan menjalani peranan itu dengan baik dan penuh syukur. Dan disaat kita mau bersyukur Allah akan menambah nikmatNya. Itu sudah janji Allah.” nyerocos aja mulutku tak terkendali sudah. Lagaknya kaya sedang berdiri di mimbar dengan jama'ah yang hikmat menyimak. Tersenyum keki aku kala seorang pedagang menatapku tak berkedip. Entah takjub atau munkin neg mendengarku.

Ibu senyum-senyum melirik ke arahku. Entah apa yang difikirkan. Hanya sorot mata bahagia yang sekilas kutangkap dari binar-binar yang terpancar. Kami berhenti di depan penjual lontong yang sedang melayani beberapa orang pembeli. Kami tidak terlalu lama menunggu karena kami sudah memesan satu hari sebelumnya. Kami tinggal mengambil dan memberi kekurangan pembayaran.

Kranjang yang terisi lontong sebanyak empat puluh buah itu menjadikan lumayan berat saat aku menjinjingnya. Ibu berjalan memimpin didepan untuk melengkapi belanjaan kami. Belanja ini belanja itu. Lengkap sudah semua masuk keranjang. Kami berputar arah keluar pasar yang sebelumnya mampir membeli kue jajan pasar. Ada Getuk, Lemet, Klanting, Lopes, dan teman-temannya. Hmm......


******

Sabtu, 05 Januari 2008

Rindukan Allah


Masih dengan menahan isak tangis kucoba melihat Hp yang berdering melengking. Arif sahabatku memanggil telah menarik dari hanyutnya diriku dalam indah gemah ayat-ayat suci yang barusan kulantunkan. Malam ini sensitif sekali diriku. Entah mengapa, mudah sekali menangis kala melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Ucap salam dari Arif kuterima dan kusampaikan salam juga baginya. Sejurus kemudian kami ngobrol kesana kemari turut menghiasi malam yang disinari rembulan dengan kesempurnaan keindahannya ditengah bulan ini. Dalam benakku memang sedari tadi mempunyai niat untuk tidak tidur terlalu sore. Belajar tirakat istilah orang jawa mengatakan bagi mereka yang terjaga hingga larut malam. Entahlah....tidak bisa kutolak rasa di hati yang ingin bertahan hingga tengah malam nanti. Dan ternyata Allah telah mengirimkan Arif untuk menemaniku menunggu dan menghabiskan malam ini bersamanya. Ya Allah....Alhamdulillah selalu ada jalan bagiMu untuk membawa diriku mendekat padaMu, gemingku dalam hati.

“Fit, sekarang aku tanya kamu ya... Misal kamu sampai pada ALLAH, lalu ALLAH memerintahkanmu untuk masuk neraka. Kamu bagaimana? Mau enggak?” tanya Arif membuatku terhenyak.
“Hmm... Pernah kan aku kirim sms sama kamu. Masih ingat enggak yang kukutib dari ulasan seorang ulama bahwa 'Tiada Surga bila itu tidak bersama ALLAH dan Tiada Neraka bila itu bersama ALLAH'. Jadi intinyakan bukan surga atau nerakanya. Tapi bersama tidaknya kita dengan ALLAH?” kuhentikan sejenak lalu kuteruskan.

“Sekarang kamu bertanya seperti itu padaku. Kalau untuk saat ini, jawaban saya tentunya masih terliputi oleh nalar karena itu hanya seandainya dan menjadi angan-angan kita. Saya tidak tahu bila dalam situasi yang benar-benar terjadi jawaban apa yang akan keluar dari mulutku. Karena itu saya sering berdoa begini... Ya Allah....Apapun ketentuan dan pemberianMu padaku, beri diriku kekuatan untuk mengahadapinya. Dan Apapun takdirMu atas diriku ya Allah....satu yang kuinginkan... jangan pernah tinggalkan diriku dan jangan biarkan diriku meninggalkanMu...” suaraku sedikit gemetar karena menahan sesuatu dalam dada. Tidak! Jangan menangis di depan Arif. Malu, pekikku dalam hati. Walau sebenarnya sudah sedari tadi aku menangis, namun kucoba untuk tidak terlalu hanyut dengan nuansa hatiku saat menggantungkan harap dalam panjatan doaku.

“Aamiien... Iyaa... kamu bener. Aku pernah enddak ya cerita sama kamu tentang riwayat 3 orang yang dimasukan neraka oleh Allah?” tanya Arif
“Hmm...sepertinya pernah sih... tapi coba kamu ulang lagi mungkin nanti ingat.”
“Ini dalam hadist Fit, ada tiga orang yang dimasukan oleh Allah dalam neraka. Dan orang ini protes sama Allah. Yang satu protes karena dia itu hidup di zaman tidak ada Rosul atau alim ulama yang bisa menunjukan dia pada kebenaran. Makanya dia tidak Sholat. Yang satunya protes karena dia tinggal di tempat yang terpencil dan jauh dari Masjid atau seruan-seruan kebaikan. Sedangkan yang satunya protes karena dia bisu dan buta sehingga tidak bisa melihat dan mendengar. Mereka protes dan minta keadilan pada Allah. Lalu Allah berfirman pada Nabi bahwa andaikata ketiga orang tersebut mau menerima ketentuan Allah tanpa protes, tentu Allah akan menjadikan dingin api neraka untuk mereka. Sesungguhnya apa yang tidak mungkin bagi Allah jika Dia menghendaki. Subhanallah... Allah kan bisa berbuat apa aja. Apa yang tidak bisa bagi Allah ya Fit?”

“Iyaa betul... Makanya, kadang kita melihat orang itu sepertinya kok sengsara hidupnya, serba kekurangan, banyak cobaan. Kasihan banget kita sama dia. Tapi dianya sendiri malah nikmat menjalani hidupnya. Sepertinya kita melihat dia berada di neraka dunia ya... tapi tidak taunya karena dia punya iman dan selalu bersama Allah, jadinya dia bahagia dan nikmat terus walau terlihat bagi yang lainnya tidak mengenakkan. Dan sebaliknya, bagi mereka yang sepertinya saja di surga memiliki apapun yang dia mau. Harta melimpah, mobil, apartemen, berliburnya ke luar negeri. Tapi mereka kering dan tidak pernah merasa nyaman dan tenang. Mungkin kurang lebih begitu ya..?”

“Iyalah... kita itu bener-bener harus sami'na wa atho'na kami mendengar dan kami taat. Jadi gak usa protes atau pakai alasan.”
“Semoga kita bisa yang seperti itu. Memang kalau di pikir juga,jika kita mengatakan cinta sama Allah dan mengabdikan diri padaNya. Tentu yang lebih utama kan kemauanNya bukan kemauan kita.Apa saja asal Dia yang kita cinta menginginkan pasti kita melakukannya. Dan tentunya Allah yang Maha mencintai pasti membalas cinta kita dengan segala karunia nikmat CintaNya. Hmm....seneng sekali ya...bisa seperti itu”
“InsyaAllah.... Sudah ya Fit, udah ngantuk nih... takut nanti malam gak bisa bangun kalau kemalaman tidurnya.”

“Lho....jangan dulu. Kita begadang sampai jam duabelas aja. Ayoo...nanggung kamu.”
“Ya sudah.... kamu ngomong sama kucingku saja ya... hehehe...” Arif menggodaku
“Gak papa... mana..?maniss...manis...lagi ngapain..”
“Meoongg...”
“Hahahahaha.....” kami tertawa seakan malam yang semakin merambat dan semakin sunyi ini kami gemahkan dengan derai tawa kami.
“Sudah...sudah...ngantuk.nih... Sudah ya?”
“Yowiss...”

“Assalamu'alaikum...”
“Ee....Arif..salamnya jangan ampang gitu.. mesti pakai jiwa donk, seperti waktu kita ikut pelatihan itu. Ayooo”
“Hehehe... sudah ngantuk nih fit. Jiwanya sudah melayang-layang ini.”
“Hehehe.. ya sudah... sono bobo'. Wa'alaikumsalam Warahmatullah...”

Kamipun mengakhiri. Tanpa terasa hampir dua jam ternyata kami telah ngobrol ngalor ngidur. Mulai dari membicarakan kegiatan, kerjaan. Hobi, teman, diskusi, cerita lucu-lucu yang pernah kami alami dan banyak lagi. Ya...Allah... Ampuni jika ada khilaf kami dalam obrolan tadi.

Kulihat jam sudah mengarah pada pukul sebelas malam. Akh... ngantuk juga sih.. tapi tidak begitu berat. Seketika aku bangkit menuju kamar mandi untuk mengusir rasa kantuk yang mulai menyerang. Kuambil air wudhu lalu kudirikan sholat sunnah syukur wudhu dua rakaat. Kupanjangkan sujud terakhirku, mencoba untuk menenggelamkan jiwa dalam belaian kasih Sang Ilahi....

Selepas Sholat, kuambil meja lipat dan Kitab suci dengan berlahan mulai kubuka dan membacanya. Satu surat setelah kuakhiri kucoba panjatkan doa. Tanpa diminta, mengiang pertanyaan Arif 'Misal kamu sampai pada ALLAH, lalu ALLAH memerintahkanmu untuk masuk neraka. Kamu bagaimana? Mau enggak?' Dadaku bergemuruh.... entah darimana datangnya rasa itu, tiba-tiba tak mampu kutahan ledakan dalam dadaku. Tumpah ruah sudah air pengharapan, takut kehilangan dan ditinggalkan olehNya. Rasa Rindupun hadir menyapa da menemaniku. Dipeluknya diriku hingga terguncang tubuh dalam kerinduan untuk bertemu denganNya.

Ya..Allah.. hamba merindukanMu, hamba inginkan diriMu...bukan neraka yang hamba takutkan ya Allah... melainkan hamba takut jauh dariMu... Namun...hamba harus bagaimana untuk bisa sampai padaMu ya Allah...hamba bodoh untuk mengenalMu tanpa Engkau yang mengajari dan memperkenalkan diriMu padaku. Hamba tidak berdaya ya Allah..dengan tubuh dan jiwa yang lemah ini... bawa hamba untuk sampai padaMu ya Rabb..
Jangan..jangan tolak hamba ya Allah... hamba tidak tahu harus kemana lagi selain kepadaMu.... terimalah hamba...terimalah hambaMu ini ya Allah...
Hamba merindukanMu... Ya..Allah hamba merindukanMu... ya Allah.. Allaah...Allaah.....Allaah....

Terisak dalam heningnya malam, menggeliat dan meronta jiwa yang terpasung. Hendak berlari entah kemana akan pergi.. Hendak berpacu namun diri dalam belenggu. Akh....mengapa Rindu dan Cinta ini tiba-tiba menyayat dan mengiris hatiku. Berdarah-darah dan berurai air mata menahan gelora Rindu untuk yang terCinta....Kupeluk kitab suci yang ada dalam genggamanku, Entahlah... apa yang membuatku seperti itu. Tetes demi tetes air mataku membasahi halaman kalam Ilahi yang diAgungkan dan di Mulyakan seisi Alam ini. Ingin kuhentikan tangisku, namun tiba-tiba bibirku berguman lirih namun pasti...

Labaikallahumma labaik....
Labaikalla syarikala kalabaik....
Minal Hamda wanikmata lakawal mulka
Lasyarikala...
Bukan berhenti, namun tangisku semakin menjadi...
Hamba datang ya Allah...hamba datang memenuhi panggilanMu dalam jiwaku....Ajari diriku untuk mendengar panggilanMu dan memenuhi panggilanMu ya Allah....
Betapa Rindu tubuh ini untuk bisa sampai ke rumahMu baitullah di tanah suci Mekkah Al-Mukaromah...

Dan betapa Rindu jiwa ini menyatu dalam Ruh kudus milikMu..
Wahai Cinta...
Kurindukan diriMu hingga kurindukan kematianku
Kurindukan berjumpa denganMu, hingga kurindukan lepasnya jiwa dari tubuhku
Wahai Cinta...
Bawalah daku terbang ke petala langit ketujuh
Hingga kumelihatMu,bersamaMu dan bercinta denganMu....
Allah...Allah...Allah...Allah...

Lemas tubuhku... dan terkulai hingga terjatuh. Mataku sembab dan sulit untuk dibuka. Dengan masih terisak dan mencoba untuk menenangkan diri kulihat jam yang bertengger diatas Televisi,

Akh...Sudah pukul setengah satu. Tanpa berpindah ke atas pembaringan, kubiarkan tubuhku tergeletak diatas karpet. Dan tanpa melepaskan mukenah, diriku terlelap dalam keberserahdirianku padaNya...
Ya Allah... dengan namaMu kuserahkan hidup dan matiku....


*****